Akhir yang aku harapkan dari kisah kita
Aku memandangi wajahmu dengan rasa rindu yang mungkin hanya aku dan
Tuhan pahami. Kamu yang sejak tadi kupandangi hanya tersenyum jahil
berharap pandanganku tidak lagi mengarah padamu. Dalam hitungan jam,
kita sudah berbincang banyak hal, namun mengapa aku masih belum bosan
untuk mengalihkan padanganku kepada yang lain? Berhari-hari, aku tidak
menatapmu, rasanya dua hari saja tidak memandangimu cukup membuat rasa
rinduku menderas seperti hujan di langit Cibinong sore itu.
Aku tidak bisa berbohong bahwa aku semakin mencintaimu. Aku semakin
jatuh cinta pada caramu memandangiku, caramu memelukku, caramu merangkul
bahuku, caramu membisikan kata-kata manis di telingaku, caramu
menggenggam jemariku, caramu memanggil namaku, dan cara-cara lain yang
kaulakukan-- yang selalu berhasil membuatku bahagia. Aku tidak bisa
berbohong bahwa hanya chat darimulah yang aku tunggu. Kamu adalah
notifikasi favoritku. Kamu adalah suntikan keajaiban yang membuatku
selalu bahagia menatap layar ponselku. Ketika namamu tertera di sana,
cepat-cepat aku membalas, dan berharap balasan darimu juga segera masuk.
Hingga hari ini, hanyalah kamu yang kunanti, tapi aku cukup sadar diri
bahwa kebahagiaan ini mungkin saja segera berakhir.
Aku cukup sadar diri bahwa kamu tidak akan mungkin bisa aku miliki. Aku
cukup tahu bahwa aku dan kamu bisa saja segera berakhir, tanpa alasan
dan penjelasan, tanpa ucapan perpisahan. Aku cukup paham bahwa kamu
bukan seutuhnya milikku karena keberasamaan kita memang hanyalah
kebahagiaan sesaat yang akan segera hilang dengan pergantian musim atau
bahkan bulan. Aku tahu ini semua akan segera berakhir bahkan sebelum
kamu benar-benar mengerti seberapa dalam perasaanku. Aku juga tahu
hubungan kita otomatis akan berakhir, bisa saja berakhir kapan pun,
karena aku tahu di mana posisiku berdiri saat ini.
Semua tentang akhir. Mungkin, kebahagiaan tidak akan pernah jadi milik
kita dalam jangka panjang. Maka, kubiarkan kamu memelukku dengan erat,
sebelum kita benar-benar berpisah. Kubiarkan kamu tetap berbisik sambil
memanggil namaku dengan lembut karena mungkin ini bisa saja pertemuan
terakhir kita. Kamu juga tahu, hubungan kita penuh banyak kejutan, kita
tidak akan pernah tahu kapan hadirnya perpisahan, yang aku dan kamu tahu
adalah bahwa kita masih punya waktu untuk menikmati sisa-sisa waktu
yang kita berdua miliki.
Seringkali, di tengah-tengah pelukmu, kamu menceritakan tentang
kekasihmu. Saat itu, mungkin kamu tidak memikirkan betapa sesaknya
dadaku, betapa sesaknya menerika kenyataan bahwa mungkin aku hanyalah
pelarian untuk menghilangkan kebosanan. Ketika kamu menceritakan tentang
kekasihmu, aku memilih mendengarkan dengan baik, sambil menatap matamu
dalam-dalam, berusaha mencari kesungguhan dalam mata itu, berusaha
menjawab pertanyaan; adakah aku dalam mata dan hatimu? Apa yang aku
temukan? Aku juga menemukan diriku dalam matamu. Aku menemukan sosok
bayanganmu dalam matamu. Tapi, bayangan itu menghilang, memudar, seakan
sebuah isyarat bahwa kesalahan ini harus segera kita akhiri.
Kamu selalu begitu. Membawa amarah, api, dan tangismu, ke dalam bahuku.
Kamu pasti begitu. Melarikan segara marah dan kesalmu, mengarahkan
cerita sebalmu tentang kekasihmu, dan menumpahkan segalanya padaku.
Lalu, ketika aku berhasil memandamkan apimu, kamu akan dengan setia
berbalik arah. Setelah aku berhasil sembuhkan lukamu, kamu dengan cepat
pergi meninggalkanku. Jelas, ini sangat tidak adil bagiku, bagi orang
yang juga mencintaimu. Tidak bisakah kamu tinggal lebih lama lagi dan
memelukku lebih hangat sekali lagi? Karena aku bosan menunggu di beranda
rumah, berharap kamu pulang setelah lelah berperang, dan mengingat
bahwa masih ada orang yang menunggumu datang masuk ke dalam peluknya.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Apakah aku harus
lari atau aku cukup diam saja dan menganggap semua tidak pernah terjadi?
Apakah aku harus bersikap biasa saja, tetap mencintaimu seperti
kemarin-kemarin, dan menganggap pelukmu serta ucapan cintamu bukanlah
bualan? Aku tahu ucapan cintamu tidak pernah berbohong. Aku tahu betul,
matamu tidak akan berhasil membohongiku. Tapi, yang selalu menjadi
pertanyaanku adalah jika kamu mencintaiku mengapa kamu tidak membiarkan
dirimu hanya dimiliki oleh satu hati?
Aku tidak tahu siapa pemilik hatimu yang sesungguhnya. Yang aku tahu,
kamu hanyalah pria biasa, yang tidak mencintai sisi malaikat dalam
diriku, justru kamu mencintai iblis dalam diriku. Kamu mencintai
keliaranku, kamu mencintai cara berpikirku yang berbeda dari yang
lainnya, kamu mencintai caraku melanggar segala macam peraturan demi
memperjuangkan yang aku anggap benar, kamu mencintai sisi gelapku, kamu
mencintaiku dalam keremangan yang menghangatkan. Yang aku suka darimu,
kamu tidak sedang memaksa aku untuk memiliki sikap yang sangat malaikat,
kamu justru membisikan hal-hal menyejukan yang selalu berhasil
mendiamkan iblis jahat dalam diriku.
Kita sama-sama hadir dari kegelapan. Kita sama-sama gelap. Dan,
percayakah kamu bahwa semua gelap akan menemukan terang di ujung jalan?
Aku ingin ke ujung jalan. Bersamamu.
Untuk pria yang belum percaya,
bahwa jalan pulang terdekat,
selalu lebih baik,
daripada jalan pulang terjauh.