Aku berharap Tuhan mengembalikanmu ke dalam pelukanku
Aku duduk di kafe tempat pertama kali kita bertemu. Sambil memandangi
hujan di langit Cibinong malam ini, aku turut menyelesaikan deadline
untuk novel keduabelas yang berjudul Promise. Pemilik kafe tadi, yang
temanmu itu, selalu bertanya mengapa aku tidak datang ke sini tanpamu.
Dan, seperti biasa, aku hanya menjawab dengan senyum, berkata kalau kamu
sedang sibuk. Namun, sampai kapan aku harus berbohong pada siapapun
yang bertanya tentangmu? Haruskah aku berkata jujur bahwa kamu tiba-tiba
menghilang tanpa kabar, setelah kita bertemu beberapa hari yang lalu,
di hari ketika Portugal memenangkan EURO 2016. Haruskah aku berkata pada
mereka, yang menanyakan kamu, bahwa aku tidak lagi mengetahui kabarmu,
dan kita kembali jadi orang asing yang tidak saling kenal?
Aku sudah tahu ini akan terjadi. Saat aku menyapamu kembali, menanyakan
apa oleh-oleh yang kauinginkan sepulang aku dari Jogjakarta. Kamu
terlonjak bahagia, itu yang aku baca dari deretan chat kita. Aku
bisa membaca kebahagiaan itu dari caramu menulis semua kalimat. Pada
akhirnya, kita kembali bertukar sapa, setelah berbulan-bulan kita
berpisah dan tidak lagi saling tahu kabar masing-masing. Kamu mau tahu
apa yang terjadi saat itu? Pagi itu, setelah aku lari pagi di dekat
Alun-alun Selatan, Keraton Jogjakarta, aku langsung bersiap menuju
Dagadu. Aku memilih apapun yang pas untukmu, dengan harapan bahwa saat
kita bertemu nanti, aku bisa melihat senyummu selebar mungkin.
Sepulang dari Jogjakarta, aku menikmati perjalanan selama dua puluh jam,
sementara kamu menikmati EURO sampai tidak tidur. Sepanjang perjalanan,
kita hanya menceritakan bagaimana pertandingan akan dimulai dengan
seru, lalu kamu bercerita soal kekagumanmu pada Prancis, lalu kamu
berbicara soal kemungkinan Portugal untuk menang, lalu kita berdua
tenggelam dalam pembicaraan menyenangkan yang sama-sama kita rindukan.
Aku menyimpan perasaan itu dalam-dalam, berbulan-bulan, andai kamu tahu,
andai kamu mengerti.
Pada akhirnya, kita bertemu, dalam keadaan kita tidak tidur semalaman.
Aku bisa membaca betapa kelelahannya matamu. Kamupun tentu mampu membaca
betapa sayunya mataku, mata yang selalu sulit menyembunyikan perasaan
rindu padamu. Kamu memelukku dengan pelukan takut kehilangan, pelukan
yang aku rindukan selama berbulan-bulan. Aku memelukmu dengan pelukan
menyadari bahwa kamu tidak akan mungkin aku miliki.
Wahai kamu, pria bermata sipit yang senyumnya selalu kukagumi, aku
senang bisa kembali menghabiskan hari bersamamu. Aku senang melihatmu
lahap memakan Domino's Pizaa yang aku belikan untukmu, yang aku belikan
dengan cara memutar di Pemda Cibinong, begitu riuh dan macetnya, hanya
untuk membawakanmu delapan potong pizza. Biarlah. Aku terlampau jatuh
cinta. Dan, semua kelelahan itu bukan berarti apa-apa selama aku bisa
bersamamu.
Kita melewati hari dengan candaan dan makian khas aku dan kamu. Kamu
merangkulku dengan berani dan dengan senang hati membuatkanku es
cappucino. Aku meminum minuman buatanmu sambil menatap matamu yang terus
mengawasiku. Aku menawari es itu agar kauminum juga, tapi kamu menolak.
Aku ulurkan tanganku untuk menyentuh pipimu, menyentuh dahimu,
menyentuh bibirmu, dan menyentuh rambutmu. Betapa aku rindu menatapmu
sedekat ini, selama berbulan-bulan kita tidak bertemu, dan bisa
menyentuhmu sehangat ini adalah kebahagiaan yang sangat aku syukuri.
Siang berganti menjadi malam, mengapa setiap aku bersamamu, waktu terasa
bergerak begitu cepat? Hujan turun lagi di langit Cibinong. Lalu, kita
menunggu hujan reda. Tidak ada yang banyak kita lakukan selain aku
menertawai candaan Sule di televisi dan kita hanya menikmati berita
malam yang membicarakan kemenangan Portugal. Kamu berkali-kali menyentuh
rambutku, lalu percakapan kita bergerak menuju bisnismu, teman-temanmu,
duniamu, dan hari-harimua yang begitu menyenangkan. Kamu turut
menceritakan hari-harimu yang menggelap tanpa kehadiranku. Apa yang bisa
aku lakukan? Aku bersandar di bahumu dan memegang setiap jemarimu. Aku
tahu karena aku akan selalu kehilangan kamu, maka aku harus mensyukuri
setiap detik yang kita miliki, sebelum aku kembali mengikhlaskan kamu
pergi.
Malam itu, hujan kelihatan sudah berhenti. Kamu mengenggam jemariku
untuk menaiki sepeda motormu. Baru beberapa menit aku memelukmu di atas
sepeda motor, hujan kembali turun lagi. Bukan hujan yang aku takutkan
sebenarnya, namun aku merasa dejavu. Aku pernah merasakan hujan
bersamamu ketika kamu mengantarkanku pulang. Saat itu, aku seakan bisa
menebak apa yang akan terjadi lagi di setelah ini.
Aku turun dari sepeda motormu. Dan, kamu menatapku dengan tatapan
hangat. Bajumu sangat basah, sama basahnya dengan bajuku. Kamu memelukku
sesaat dan kemudian kamu berlalu dengan cepat. Kutatap punggungmu dari
belakang, hingga sepeda motormu menjauh. Ada kekosongan dan kehampaan
yang aku rasakan. Belum berapa detik berlalu, namun aku sudah merindukan
pelukmu.
Ini terjadi beberapa bulan yang lalu, saat hujan itu, kamu mengantarku
pulang ke rumah. Aku tidak tahan dengan puluhan cercaan yang mengatakan
bahwa aku murahan, lalu aku tidak kuat, kemudian melepaskanmu pergi.
Padahal, mati-matian kamu meminta agar tidak aku lepaskan. Aku memintamu
pergi, namun aku menyesal karena hari-hari tanpamu adalah kesedihan
yang menyebalkan. Dan, apa yang aku katakan dejavu itu kembali terulang.
Aku pernah kehilangan kamu dalam keadaan seperti itu dan kemarin aku
harus kembali kehilangan kamu lagi, kali ini-- tanpa sebab dan alasan.
Malam itu, aku menatap punggungmu yang menghilang dari pandangan. Seakan
kamu ingin memberitahu, bahwa aku harus siap kehilangan kamu kapanpun
itu. Kita saling tahu, bahwa di antara kita tidak akan ada yang bisa
saling memiliki. Kamu tidak akan mampu memilikiku dan aku tidak akan
bisa memilikimu. Kita sudah sepakat untuk ini bahwa aku dan kamu harus
saling menyembunyikan. Tapi, bisakah kaumenahan diri dari kutukan cinta?
Kamu tidak bisa memilih harus jatuh cinta dengan siapa. Cinta tidak
pernah salah, tapi dia bisa datang terlambat.
Kamu selalu bilang bahwa aku datang ke hidupmu sangat terlambat,
meskipun kamu sangat mencintaiku, namun bukan berarti kita bisa punya
akhir menyatu. Malam itu, aku menatap punggungmu menjauh. Hujan turun
semakin deras. Dan, aku lepaskan kamu dari pelukanku. Aku ikhlaskan kamu
menuju peluknya. Sambil berharap kamu tahu, aku tetap akan menunggumu,
meskipun aku tahu kekasihmu tidak akan melepaskanmu.
Aku tetap akan menunggu kamu kembali ke dalam pelukanku. Karena aku yakin, kamu selalu tahu, ke mana kauharus pulang.
Koko, aku rindu kamu,
Bisakah kamu buatkan aku semangkuk mie ayam,
untuk perempuan yang hanya menjatuhkan air matanya--
untukmu?