Sepuluh
“INI tempatnya?” tanya Tatsuya ketika mereka tiba di
depan kelab mewah bernama La Vue.
Tara mengangguk. “Ini kelab paling keren di Paris,”
katanya bangga. “Kau pernah ke sini?”
Tatsuya tersenyum dan mengangguk. “Pernah. Satu
kali.”
Masih jelas sekali dalam ingatannya ketika ia datang
ke kelab ini. Di sinilah ia bertemu kembali dengan si gadis dari bandara itu.
Ia juga penasaran apakah si “Hugo” masih menjadi bartender di tempat ini.
“Kelab yang bagus, bukan? Ini salah satu kelab milik
ayahku,” lanjut Tara sambil menarik tangan Tatsuya. “Ayo, masuk.”
* * *
“Hei, dia tampan,” bisik Élise di dekat Tara.
“Tangkapan yang bagus.”
Tara mendesis dan menyiku lengan temannya, takut
Tatsuya yang duduk di sebelahnya mendengar apa yang baru dikatakan Élise.
“Tangkapan? Memangnya dia ikan?” tukas Tara lirih.
Élise tidak peduli dan melanjutkan, “Kau beruntung.
Kalau aku belum punya Olivier, sudah kurebut dia darimu.”
Tara tertawa. Ia memerhatikan temannya meneguk bir
yang tersisa di botol sampai habis. Sepertinya Élise sudah agak mabuk, tapi dia
tidak sendirian. Sebastien juga sudah terlihat mabuk karena mereka minum terus
sejak tadi. Berbotol-botol bir dan gelas-gelas koktail kosong bertebaran di
meja bundar itu.
Élise hanya mengundang beberapa orang untuk
merayakan hari ulang tahunnya. Selain Élise dan pacarnya, Olivier, yang hadir
di sana hanya Tara, Tatsuya, Sebastien, dan Juliette. Seperti yang sudah diduga
Tara, Sebastien mengajak pacar barunya untuk dikenalkan kepada teman-temannya.
Harus Tara akui ia merasa agak kecewa karena
Juliette sama sekali berbeda dari dugaannya. Juliette yang duduk tepat di
hadapannya ini berwajah cantik, bermata hijau dan berambut hitam panjang bukan
kuning jagung. Dan dengan menyesal Tara harus mengakui tidak ada orang-orangan
sawah yang terlihat seseksi itu.
“Sepertinya bukan cuma aku yang punya pikiran
merebut Tatsuya darimu,” kata Élise tiba-tiba.
Tara menoleh dengan cepat ke arah Tatsuya dan
melihat Juliette sedang berbicara dengan laki-laki itu. Wajahnya dekat sekali
dengan Tatsuya. Sesekali wanita itu tersenyum lebar dan mempertontonkan barisan
giginya yang putih dan rapi. Sebastien asyik mengobrol dengan Olivier sehingga
tidak terlalu memerhatikan pacarnya yang duduk di sampingnya sedang berusaha
selingkuh... dan yang semakin lama semakin dekat dengan Tatsuya. O-oh, tunggu
sebentar!
“Kau mau minum lagi? Biar kuambilkan,” kata Tatsuya
menawarkan sambil menunjuk gelas Juliette yang sudah kosong.
“Tentu saja,” sahut Juliette dengan senyum manis
yang membuat Tara naik darah.
Wanita itu baru akan membuka mulut lagi dan Tara
langsung tahu apa yang ingin dikatakannya. Secepat kilat, sebelum Juliette
sempat mengucapkan apa pun, Tara menyela dengan suara keras—hampir seperti
teriakan pernyataan perang zaman dulu, “Tatsuya, kau mau ke bar? Aku ikut!”
Tara bangkit dari kursi dengan cepat dan melemparkan
senyum yang tak kalah manisnya ke arah Juliette yang membalasnya dengan senyum
sopan. Wanita itu bahkan tidak boleh bermimpi ingin mendekati Tatsuya. Coba
saja kalau berani.
Tara mengikuti Tatsuya ke bar yang ramai.
“Ternyata kau baik sekali,” komentar Tara dengan
nada sinis begitu mereka berdiri berdampingan di meja bar.
“Hm? Baik bagaimana?” tanya Tatsuya tidak mengerti.
“Kenapa kau harus mengambilkan minuman untuknya?”
tanya Tara ketus, sama sekali tidak memandang Tatsuya. Ia tahu ia terdengar
kekanak-kanakan, tetapi ia tidak bisa menahan diri.
Karena tidak mendengar jawaban, Tara melirik Tatsuya
sekilas dan mendapati laki-laki itu sedang menatapnya sambil tersenyum.
“Kenapa senyum-senyum?” tanya Tara, lalu mengalihkan
pandangan lagi. Ia merasa Tatsuya bisa membaca pikirannya hanya dengan menatap
matanya dan itu berbahaya.
“Tara Dupont,” panggil Tatsuya. “Coba pandang aku.”
Karena Tatsuya memanggilnya dengan lembut, Tara
tidak punya pilihan lain selain berpaling dengan enggan dan memandang Tatsuya.
“Kau cemburu?” tanya laki-laki itu. Senyumnya makin
lebar.
“Tidak,” cetus Tara langsung. Siapa yang cemburu?
Tidak ada.
Tatsuya tertawa kecil. Ia mengulurkan tangan dan
mengusap kepala Tara. Jantung Tara langsung meloncat tidak beraturan.
“Aku menawarinya minuman lagi sebagai alasan untuk
menyingkir dari sana,” kata Tatsuya sambil menatap mata Tara.
“Sungguh?”
Tatsuya mengangguk.
“Kau tidak tertarik padanya?”
Tatsuya menggeleng.
“Sedikit pun tidak?”
Tatsuya berpikir sejenak. “Yah... Dia memang cantik
sekali,” gumamnya.
Tara mengerutkan kening.
“Tapi tidak, dia bukan tipeku,” lanjut Tatsuya
tenang. Ia berpaling ke arah Tara. “Makanya kau tidak perlu cemas. Kau tahu,
kulitmu bisa cepat keriput kalau kau berkerut seperti itu terus.”
Tara mendengus walaupun dalam hatinya senang
mendengar ucapan Tatsuya—sebelum laki-laki itu bicara tenang keriput dan
semacamnya itu. Untuk menutupi rasa malunya, ia hanya menggerutu tidak jelas.
“Kau mau minum lagi?” tanya Tatsuya.
Tara mengangguk dan mencari-cari bartender yang
entah ada di mana.
“Kau tahu, pada saat-saat seperti sekarang inilah
aku senang dengan posisiku sebagai anak bos,” kata Tara sambil tersenyum lebar
ketika akhirnya ia berhasil melihat bartender di ujung sana.
Tatsuya tidak sempat bertanya apa maksudnya karena
Tara sudah memalingkan wajah.
“Édouard!” seru gadis itu sambil melambai-lambaikan
tangan ke arah bartender botak yang sedang melayani seorang tamu.
Begitu tahu siapa yang menyerukan namanya, bartender
yang dipanggil Édouard itu segera menghampiri mereka dengan senyum lebar yang
ramah. “Hai, Tara. Mau pesan apa?”
Tara menatap Tatsuya dengan senyum puas. “Anak bos
selalu mendapat pelayanan utama.”
Tatsuya memandang bartender di hadapan mereka dan
bertanya pada Tara, “Édouard?”
Tara mengangguk. Ia memperkenalkan kedua pria itu.
“Édouard, ini temanku, Tatsuya. Tatsuya, ini Édouard. Dia sudah cukup lama
bekerja di sini. Salah satu bartender favorit ayahku,” jelas Tara. “Tapi
sayangnya, bukan favoritku, karena dia tidak pernah mengizinkanku minum
banyak.”
“Koreksi,” sela Édouard dengan senyum lebar. “Aku
tidak pernah mengizinkanmu minum sampai mabuk.”
“Tapi mabuk itu menyenangkan,” gurau Tara.
“Coba katakan itu lagi kalau kau sedang
muntah-muntah,” balas Édouard.
Tara mengibaskan tangannya. “Kau terdengar persis
seperti ibuku. Ibu tidak pernah mengizinkan aku minum sedikit pun selama aku
tinggal di Jakarta. Membosankan. Padahal aku tidak pernah minum sampai mabuk. Aku
tahu batasnya.” Ia memiringkan kepalanya ke arah Tatsuya dan berkata, “Temanku
ingin menambah minuman.”
Édouard mengalihkan perhatiannya kepada Tatsuya dan
ekspresinya agak berubah. Keningnya berkerut seakan berusaha mengingat-ingat.
“Oh, bukankah kau yang...?”
Tatsuya tersenyum. “Wah, masih ingat padaku?”
Édouard menjentikkan jari. “Kau yang waktu itu ada
di sini.”
Tara memandang mereka dengan heran. Apa yang sedang
mereka bicarakan ini? “Kalian saling kenal?” tanyanya.
“Tidak juga,” sahut Tatsuya. “Aku mengenalnya dengan
nama Hugo, tapi ternyata namanya bukan Hugo.”
Tara masih tidak mengerti.
Édouard tiba-tiba menunjuk Tatsuya dengan penuh
semangat dan berkata kepada Tara, “Tanyakan padanya!”
Tara mengerjap-ngerjapkan mata. “Apa?”
“Sudah kubilang kau selalu memanggilku dengan nama
lain begitu kau sudah mabuk. Kau tidak pernah percaya padaku,” celoteh Édouard
menggebu-gebu. “Sekarang kau boleh tanya padanya. Dia dengar sendiri ketika kau
tidak mau berhenti minum dan terus memanggilku Hugo.”
Tara melongo. Apa yang sedang dibicarakan Édouard?
Hugo siapa? Siapa yan gmabuk? Apa hubungannya dengan Tatsuya?
“Kau ingat hari Sabtu itu ketika kau baru kembali
dari Indonesia?” Édouard menjelaskan dengan nada tidak sabar ketika melihat
Tara masih terbengong-bengong. “Malam itu kau datang ke sini untuk minum-minum
sendirian karena kau bilang Sebastien pergi entah ke mana. Ingat?”
Oh... Tara ingat hari itu. Ia memang kesal setengah
mati pada Sebastien karena tidak datang menjemputnya di bandara. Ia bahkan
sudah menunggu lama di kafe bandara. Lalu malamnya ia datang ke La Vue untuk
minum-minum.
“Saat itu temanmu ini juga ada di sini,” kata
Édouard sambil menunjuk Tatsuya, lalu ia mengerutkan kening. “Tunggu dulu...
waktu itu kau sudah kenal dengannya?”
Pertanyaan itu ditujukan kepada Tatsuya, jadi
Tatsuya menggeleng.
“Jadi kalian baru berkenalan setelah itu?” tanya
Édouard lagi.
Tatsuya mengangguk sambil tersenyum.
Tara memandang Tatsuya dengan bingung. “Kita pernah
bertemu di sini?” tanyanya ragu. Ia menggali ingatannya, tetapi tetap tidak
menemukan petunjuk apa pun yang mengarah pada pertemuannya dengan Tatsuya di
kelab ini. Aneh... Ia bukan orang yang gampang melupakan sesuatu. Ia malah bisa
dikategorikan sebagai orang yang punya ingatan baik.
Tatsuya mendesah dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Ternyata kau benar-benar sudah mabuk malam itu. Kau bahkan tidak ingat pernah
berbicara padaku? Kau juga tidak ingat pernah memanggilnya dengan nama Hugo?”
Kenapa Hugo terdengar tidak asing? Tara berpikir-pikir.
Lalu ia teringat e-mail yang dikirim Tatsuya ke acara Je me souviens.... Kelab
tempat Tatsuya bertemu gadis di bandara... Hugo si bartender... Gadis di
bandara...?
“Kau sudah ingat?” tanya Tatsuya.
Tara menatap laki-laki itu dengan mata yang melebar.
“E-mail yang kaukirimkan ke stasiun radio... Kejadian itu adalah ketika kau
bertemu denganku? Di sini? Jadi... jadi itu artinya gadis yang kautemui di
bandara itu...”
“Kau, Tara-chan,” Tatsuya menyelesaikan kalimat
Tara.
“Oh?”
Tara mengerjap-ngerjapkan mata. Tercengang.
Bagaimana bisa? Apakah dia sedang bermimpi? Tapi bahkan dalam mimpi pun ia
tidak pernah berpikir dirinya adalah gadis yang telah membuat Tatsuya terpesona
di bandara.
Seakan merasakan keraguan Tara, Tatsuya menatap
lurus-lurus ke mata Tara. “Kaulah yang kulihat di kafe bandara. Saat itu
kopermu menyenggol koperku. Dan malam harinya, kaulah yang kutemui di sini
ketika aku sedang menunggu temanku. Kau sudah mabuk dan masih tidak mau
mengakuinya. Malah memanggil orang dengan nama yang salah. Kau benar-benar
tidak ingat?”
Tara tidak bisa berkata apa pun. Kenapa ia sama
sekali tidak ingat pernah melihat Tatsuya? Ia memang ingat kalau ia masuk ke
kafe bandara dengan darah mendidih karena Sebastien tidak datang menjemputnya,
karena itu ia tidak sadar dan tidak peduli kopernya menyenggol benda apa pun.
Lalu malam itu, ia juga masih kesal sehingga memutuskan untuk minum-minum
sebentar. Memang saat itu ia ingat ada seseorang di dekatnya ketika ia
berbicara dengan Édouard, tapi ia tidak ingat wajah orang itu. Ternyata itu
Tatsuya?
“Tapi kau tidak menunjukkan tanda-tanda kau pernah
melihatku,” gumam Tara masih bingung.
“Tentu saja tidak,” sahut Tatsuya tegas. “Aku tidak
ingin kau menganggapku penguntit atau semacamnya. Lagi pula kau sendiri tidak
sadar kau pernah bertemu denganku.”
Tara merenung. Mungkinkah itu sebabnya ia merasa ada
sesuatu yang tidak asing ketika Sebastien pertama kali memperkenalkannya kepada
Tatsuya? Mungkinkah itu karena tanpa sadar ia mengingat wajah Tatsuya? Hmm... sepertinya
bukan itu.
“Kau tahu betapa terkejutnya aku ketika melihatmu
lagi bersama Sebastien?” Tatsuya melanjutkan. “Gadis yang membuatku terpesona
di bandara ternyata adalah teman Sebastien Giraudeau. Aku nyaris tidak percaya
pada penglihatanku. Dan nyaris tidak percaya karena akhirnya aku bisa
berkenalan denganmu.”
* * *
“Kenapa kalian berdua lama sekali?” protes Sebastien
ketika Tara dan Tatsuya kembali ke meja. “Hanya mengambil minuman.”
Pesta minuman kembali dilanjutkan. Malam semakin
larut dan suasana semakin meriah. Tatsuya merasa gembira. Inilah pertama
kalinnya ia merasa bebas sejak menginjakkan kakinya di Paris.
Tapi perasaan itu ternyata tidak bertahan lama.
Ketika mereka asyik mengobrol, tiba-tiba Tara
menyelutuk, “Lho, Papa! Papa!”
Semua orang menoleh, termasuk Tatsuya. Dan saat
itulah kegembiraannya langsung sirna tak berbekas.
Tara bangkit dari kursi dan menyongsong seorang pria
tinggi berambut cokelat yang menghampiri meja mereka. Kening Tatsuya berkerut
bingung melihat sosok pria yang terasa tidak asing itu.
“Papa,” seru Tara gembira sambil merentangkan kedua
tangannya.
“Victoria, ma chérie,” kata pria itu dan merangkul
Tara.
Saat itulah Tatsuya melihat wajah pria itu dengan
jelas dan darahnya mendadak membeku.
Papa...? Victoria...?
Tara menarik lengan pria itu ke meja mereka dan
berkata pada teman-temannya dengan nada bangga, “Teman-teman, bagi kalian yang
belum pernah melihat ayahku, ini dia, pemilik kelab yang keren ini.”
Tatsuya duduk mematung. Matanya terbelalak menatap
pria di hadapannya. Dunia seakan hening seketika. Ia tidak bisa mendengar suara
di sekitarnya, tidak bisa merasakan jantungnya berdebar, tidak bisa merasakan
darahnya mengalir di dalam tubuhnya. Ia bahkan tidak bisa menghirup udara.
Ayah Tara tersenyum ramah dan mengamati wajah-wajah
yang duduk mengelilingi meja bundar itu, sampai pandangannya terhenti pada
Tatsuya dan ekspresinya berubah. Heran... dan terkejut.
Tatsuya bisa merasakan kekagetan di mata pria itu.
Tatsuya memahaminya. Ia sendiri juga merasakan hal yang sama. Pria yang
sekarang ini sedang merangkul pundak Tara memang diperkenalkan sebagai ayah
Tara, tetapi Tatsuya lebih mengenalnya dengan nama Jean-Daniel Lemercier, orang
yang baru diketahuinya sebagai ayah kandungnya.