Minggu, 18 Mei 2014



Sepuluh

“INI tempatnya?” tanya Tatsuya ketika mereka tiba di depan kelab mewah bernama La Vue.

Tara mengangguk. “Ini kelab paling keren di Paris,” katanya bangga. “Kau pernah ke sini?”

Tatsuya tersenyum dan mengangguk. “Pernah. Satu kali.”

Masih jelas sekali dalam ingatannya ketika ia datang ke kelab ini. Di sinilah ia bertemu kembali dengan si gadis dari bandara itu. Ia juga penasaran apakah si “Hugo” masih menjadi bartender di tempat ini.

“Kelab yang bagus, bukan? Ini salah satu kelab milik ayahku,” lanjut Tara sambil menarik tangan Tatsuya. “Ayo, masuk.”

* * *

“Hei, dia tampan,” bisik Élise di dekat Tara. “Tangkapan yang bagus.”

Tara mendesis dan menyiku lengan temannya, takut Tatsuya yang duduk di sebelahnya mendengar apa yang baru dikatakan Élise.

“Tangkapan? Memangnya dia ikan?” tukas Tara lirih.

Élise tidak peduli dan melanjutkan, “Kau beruntung. Kalau aku belum punya Olivier, sudah kurebut dia darimu.”

Tara tertawa. Ia memerhatikan temannya meneguk bir yang tersisa di botol sampai habis. Sepertinya Élise sudah agak mabuk, tapi dia tidak sendirian. Sebastien juga sudah terlihat mabuk karena mereka minum terus sejak tadi. Berbotol-botol bir dan gelas-gelas koktail kosong bertebaran di meja bundar itu.

Élise hanya mengundang beberapa orang untuk merayakan hari ulang tahunnya. Selain Élise dan pacarnya, Olivier, yang hadir di sana hanya Tara, Tatsuya, Sebastien, dan Juliette. Seperti yang sudah diduga Tara, Sebastien mengajak pacar barunya untuk dikenalkan kepada teman-temannya.

Harus Tara akui ia merasa agak kecewa karena Juliette sama sekali berbeda dari dugaannya. Juliette yang duduk tepat di hadapannya ini berwajah cantik, bermata hijau dan berambut hitam panjang bukan kuning jagung. Dan dengan menyesal Tara harus mengakui tidak ada orang-orangan sawah yang terlihat seseksi itu.

“Sepertinya bukan cuma aku yang punya pikiran merebut Tatsuya darimu,” kata Élise tiba-tiba.

Tara menoleh dengan cepat ke arah Tatsuya dan melihat Juliette sedang berbicara dengan laki-laki itu. Wajahnya dekat sekali dengan Tatsuya. Sesekali wanita itu tersenyum lebar dan mempertontonkan barisan giginya yang putih dan rapi. Sebastien asyik mengobrol dengan Olivier sehingga tidak terlalu memerhatikan pacarnya yang duduk di sampingnya sedang berusaha selingkuh... dan yang semakin lama semakin dekat dengan Tatsuya. O-oh, tunggu sebentar!

“Kau mau minum lagi? Biar kuambilkan,” kata Tatsuya menawarkan sambil menunjuk gelas Juliette yang sudah kosong.

“Tentu saja,” sahut Juliette dengan senyum manis yang membuat Tara naik darah.

Wanita itu baru akan membuka mulut lagi dan Tara langsung tahu apa yang ingin dikatakannya. Secepat kilat, sebelum Juliette sempat mengucapkan apa pun, Tara menyela dengan suara keras—hampir seperti teriakan pernyataan perang zaman dulu, “Tatsuya, kau mau ke bar? Aku ikut!”

Tara bangkit dari kursi dengan cepat dan melemparkan senyum yang tak kalah manisnya ke arah Juliette yang membalasnya dengan senyum sopan. Wanita itu bahkan tidak boleh bermimpi ingin mendekati Tatsuya. Coba saja kalau berani.

Tara mengikuti Tatsuya ke bar yang ramai.

“Ternyata kau baik sekali,” komentar Tara dengan nada sinis begitu mereka berdiri berdampingan di meja bar.

“Hm? Baik bagaimana?” tanya Tatsuya tidak mengerti.

“Kenapa kau harus mengambilkan minuman untuknya?” tanya Tara ketus, sama sekali tidak memandang Tatsuya. Ia tahu ia terdengar kekanak-kanakan, tetapi ia tidak bisa menahan diri.

Karena tidak mendengar jawaban, Tara melirik Tatsuya sekilas dan mendapati laki-laki itu sedang menatapnya sambil tersenyum.

“Kenapa senyum-senyum?” tanya Tara, lalu mengalihkan pandangan lagi. Ia merasa Tatsuya bisa membaca pikirannya hanya dengan menatap matanya dan itu berbahaya.

“Tara Dupont,” panggil Tatsuya. “Coba pandang aku.”

Karena Tatsuya memanggilnya dengan lembut, Tara tidak punya pilihan lain selain berpaling dengan enggan dan memandang Tatsuya.

“Kau cemburu?” tanya laki-laki itu. Senyumnya makin lebar.

“Tidak,” cetus Tara langsung. Siapa yang cemburu? Tidak ada.

Tatsuya tertawa kecil. Ia mengulurkan tangan dan mengusap kepala Tara. Jantung Tara langsung meloncat tidak beraturan.

“Aku menawarinya minuman lagi sebagai alasan untuk menyingkir dari sana,” kata Tatsuya sambil menatap mata Tara.

“Sungguh?”

Tatsuya mengangguk.

“Kau tidak tertarik padanya?”

Tatsuya menggeleng.

“Sedikit pun tidak?”

Tatsuya berpikir sejenak. “Yah... Dia memang cantik sekali,” gumamnya.

Tara mengerutkan kening.

“Tapi tidak, dia bukan tipeku,” lanjut Tatsuya tenang. Ia berpaling ke arah Tara. “Makanya kau tidak perlu cemas. Kau tahu, kulitmu bisa cepat keriput kalau kau berkerut seperti itu terus.”

Tara mendengus walaupun dalam hatinya senang mendengar ucapan Tatsuya—sebelum laki-laki itu bicara tenang keriput dan semacamnya itu. Untuk menutupi rasa malunya, ia hanya menggerutu tidak jelas.

“Kau mau minum lagi?” tanya Tatsuya.

Tara mengangguk dan mencari-cari bartender yang entah ada di mana.

“Kau tahu, pada saat-saat seperti sekarang inilah aku senang dengan posisiku sebagai anak bos,” kata Tara sambil tersenyum lebar ketika akhirnya ia berhasil melihat bartender di ujung sana.

Tatsuya tidak sempat bertanya apa maksudnya karena Tara sudah memalingkan wajah.

“Édouard!” seru gadis itu sambil melambai-lambaikan tangan ke arah bartender botak yang sedang melayani seorang tamu.

Begitu tahu siapa yang menyerukan namanya, bartender yang dipanggil Édouard itu segera menghampiri mereka dengan senyum lebar yang ramah. “Hai, Tara. Mau pesan apa?”

Tara menatap Tatsuya dengan senyum puas. “Anak bos selalu mendapat pelayanan utama.”

Tatsuya memandang bartender di hadapan mereka dan bertanya pada Tara, “Édouard?”

Tara mengangguk. Ia memperkenalkan kedua pria itu. “Édouard, ini temanku, Tatsuya. Tatsuya, ini Édouard. Dia sudah cukup lama bekerja di sini. Salah satu bartender favorit ayahku,” jelas Tara. “Tapi sayangnya, bukan favoritku, karena dia tidak pernah mengizinkanku minum banyak.”

“Koreksi,” sela Édouard dengan senyum lebar. “Aku tidak pernah mengizinkanmu minum sampai mabuk.”

“Tapi mabuk itu menyenangkan,” gurau Tara.

“Coba katakan itu lagi kalau kau sedang muntah-muntah,” balas Édouard.

Tara mengibaskan tangannya. “Kau terdengar persis seperti ibuku. Ibu tidak pernah mengizinkan aku minum sedikit pun selama aku tinggal di Jakarta. Membosankan. Padahal aku tidak pernah minum sampai mabuk. Aku tahu batasnya.” Ia memiringkan kepalanya ke arah Tatsuya dan berkata, “Temanku ingin menambah minuman.”

Édouard mengalihkan perhatiannya kepada Tatsuya dan ekspresinya agak berubah. Keningnya berkerut seakan berusaha mengingat-ingat. “Oh, bukankah kau yang...?”

Tatsuya tersenyum. “Wah, masih ingat padaku?”

Édouard menjentikkan jari. “Kau yang waktu itu ada di sini.”

Tara memandang mereka dengan heran. Apa yang sedang mereka bicarakan ini? “Kalian saling kenal?” tanyanya.

“Tidak juga,” sahut Tatsuya. “Aku mengenalnya dengan nama Hugo, tapi ternyata namanya bukan Hugo.”

Tara masih tidak mengerti.

Édouard tiba-tiba menunjuk Tatsuya dengan penuh semangat dan berkata kepada Tara, “Tanyakan padanya!”

Tara mengerjap-ngerjapkan mata. “Apa?”

“Sudah kubilang kau selalu memanggilku dengan nama lain begitu kau sudah mabuk. Kau tidak pernah percaya padaku,” celoteh Édouard menggebu-gebu. “Sekarang kau boleh tanya padanya. Dia dengar sendiri ketika kau tidak mau berhenti minum dan terus memanggilku Hugo.”

Tara melongo. Apa yang sedang dibicarakan Édouard? Hugo siapa? Siapa yan gmabuk? Apa hubungannya dengan Tatsuya?

“Kau ingat hari Sabtu itu ketika kau baru kembali dari Indonesia?” Édouard menjelaskan dengan nada tidak sabar ketika melihat Tara masih terbengong-bengong. “Malam itu kau datang ke sini untuk minum-minum sendirian karena kau bilang Sebastien pergi entah ke mana. Ingat?”

Oh... Tara ingat hari itu. Ia memang kesal setengah mati pada Sebastien karena tidak datang menjemputnya di bandara. Ia bahkan sudah menunggu lama di kafe bandara. Lalu malamnya ia datang ke La Vue untuk minum-minum.

“Saat itu temanmu ini juga ada di sini,” kata Édouard sambil menunjuk Tatsuya, lalu ia mengerutkan kening. “Tunggu dulu... waktu itu kau sudah kenal dengannya?”

Pertanyaan itu ditujukan kepada Tatsuya, jadi Tatsuya menggeleng.

“Jadi kalian baru berkenalan setelah itu?” tanya Édouard lagi.

Tatsuya mengangguk sambil tersenyum.

Tara memandang Tatsuya dengan bingung. “Kita pernah bertemu di sini?” tanyanya ragu. Ia menggali ingatannya, tetapi tetap tidak menemukan petunjuk apa pun yang mengarah pada pertemuannya dengan Tatsuya di kelab ini. Aneh... Ia bukan orang yang gampang melupakan sesuatu. Ia malah bisa dikategorikan sebagai orang yang punya ingatan baik.

Tatsuya mendesah dan menggeleng-gelengkan kepala. “Ternyata kau benar-benar sudah mabuk malam itu. Kau bahkan tidak ingat pernah berbicara padaku? Kau juga tidak ingat pernah memanggilnya dengan nama Hugo?”

Kenapa Hugo terdengar tidak asing? Tara berpikir-pikir. Lalu ia teringat e-mail yang dikirim Tatsuya ke acara Je me souviens.... Kelab tempat Tatsuya bertemu gadis di bandara... Hugo si bartender... Gadis di bandara...?

“Kau sudah ingat?” tanya Tatsuya.

Tara menatap laki-laki itu dengan mata yang melebar. “E-mail yang kaukirimkan ke stasiun radio... Kejadian itu adalah ketika kau bertemu denganku? Di sini? Jadi... jadi itu artinya gadis yang kautemui di bandara itu...”

“Kau, Tara-chan,” Tatsuya menyelesaikan kalimat Tara.

“Oh?”

Tara mengerjap-ngerjapkan mata. Tercengang. Bagaimana bisa? Apakah dia sedang bermimpi? Tapi bahkan dalam mimpi pun ia tidak pernah berpikir dirinya adalah gadis yang telah membuat Tatsuya terpesona di bandara.

Seakan merasakan keraguan Tara, Tatsuya menatap lurus-lurus ke mata Tara. “Kaulah yang kulihat di kafe bandara. Saat itu kopermu menyenggol koperku. Dan malam harinya, kaulah yang kutemui di sini ketika aku sedang menunggu temanku. Kau sudah mabuk dan masih tidak mau mengakuinya. Malah memanggil orang dengan nama yang salah. Kau benar-benar tidak ingat?”

Tara tidak bisa berkata apa pun. Kenapa ia sama sekali tidak ingat pernah melihat Tatsuya? Ia memang ingat kalau ia masuk ke kafe bandara dengan darah mendidih karena Sebastien tidak datang menjemputnya, karena itu ia tidak sadar dan tidak peduli kopernya menyenggol benda apa pun. Lalu malam itu, ia juga masih kesal sehingga memutuskan untuk minum-minum sebentar. Memang saat itu ia ingat ada seseorang di dekatnya ketika ia berbicara dengan Édouard, tapi ia tidak ingat wajah orang itu. Ternyata itu Tatsuya?

“Tapi kau tidak menunjukkan tanda-tanda kau pernah melihatku,” gumam Tara masih bingung.

“Tentu saja tidak,” sahut Tatsuya tegas. “Aku tidak ingin kau menganggapku penguntit atau semacamnya. Lagi pula kau sendiri tidak sadar kau pernah bertemu denganku.”

Tara merenung. Mungkinkah itu sebabnya ia merasa ada sesuatu yang tidak asing ketika Sebastien pertama kali memperkenalkannya kepada Tatsuya? Mungkinkah itu karena tanpa sadar ia mengingat wajah Tatsuya? Hmm... sepertinya bukan itu.

“Kau tahu betapa terkejutnya aku ketika melihatmu lagi bersama Sebastien?” Tatsuya melanjutkan. “Gadis yang membuatku terpesona di bandara ternyata adalah teman Sebastien Giraudeau. Aku nyaris tidak percaya pada penglihatanku. Dan nyaris tidak percaya karena akhirnya aku bisa berkenalan denganmu.”

* * *

“Kenapa kalian berdua lama sekali?” protes Sebastien ketika Tara dan Tatsuya kembali ke meja. “Hanya mengambil minuman.”

Pesta minuman kembali dilanjutkan. Malam semakin larut dan suasana semakin meriah. Tatsuya merasa gembira. Inilah pertama kalinnya ia merasa bebas sejak menginjakkan kakinya di Paris.

Tapi perasaan itu ternyata tidak bertahan lama.

Ketika mereka asyik mengobrol, tiba-tiba Tara menyelutuk, “Lho, Papa! Papa!”

Semua orang menoleh, termasuk Tatsuya. Dan saat itulah kegembiraannya langsung sirna tak berbekas.

Tara bangkit dari kursi dan menyongsong seorang pria tinggi berambut cokelat yang menghampiri meja mereka. Kening Tatsuya berkerut bingung melihat sosok pria yang terasa tidak asing itu.

“Papa,” seru Tara gembira sambil merentangkan kedua tangannya.

“Victoria, ma chérie,” kata pria itu dan merangkul Tara.

Saat itulah Tatsuya melihat wajah pria itu dengan jelas dan darahnya mendadak membeku.

Papa...? Victoria...?

Tara menarik lengan pria itu ke meja mereka dan berkata pada teman-temannya dengan nada bangga, “Teman-teman, bagi kalian yang belum pernah melihat ayahku, ini dia, pemilik kelab yang keren ini.”

Tatsuya duduk mematung. Matanya terbelalak menatap pria di hadapannya. Dunia seakan hening seketika. Ia tidak bisa mendengar suara di sekitarnya, tidak bisa merasakan jantungnya berdebar, tidak bisa merasakan darahnya mengalir di dalam tubuhnya. Ia bahkan tidak bisa menghirup udara.

Ayah Tara tersenyum ramah dan mengamati wajah-wajah yang duduk mengelilingi meja bundar itu, sampai pandangannya terhenti pada Tatsuya dan ekspresinya berubah. Heran... dan terkejut.

Tatsuya bisa merasakan kekagetan di mata pria itu. Tatsuya memahaminya. Ia sendiri juga merasakan hal yang sama. Pria yang sekarang ini sedang merangkul pundak Tara memang diperkenalkan sebagai ayah Tara, tetapi Tatsuya lebih mengenalnya dengan nama Jean-Daniel Lemercier, orang yang baru diketahuinya sebagai ayah kandungnya.


Sembilan
TATSUYA keluar dari restoran dan mengembuskan napas panjang. Selesai! Mimpi buruknya berakhir sudah. Beban yang selama ini mengimpit dadanya terangkat sudah. Kalau dipikir-pikir, dulu ia bertindak bodoh. Kenapa ia harus menunggu selama itu untuk bertemu dengan ayah kandungnya sendiri? Kenapa?
Tentu saja karena ia takut. Saat itu ia takut ayah kandungnya akan menolak percaya dan takut situasinya malah semakin parah. Ia juga akan frustrasi. Walaupun ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak butuh pengakuan, tapi bagaimana jadinya bila kau tahu orang itu adalah ayah kandungmu dan dia menolakmu? Siapa pun tidak suka ditolak, terlebih oleh orangtua kandung sendiri.
Namun terbukti ketakutannya tidak beralasan sama sekali karena Jean-Daniel Lemercier sangat berbeda dari apa yang dia bayangkan sebelumnya. Tatsuya senang akhirnya mereka berhasil melalui saat-saat sulit itu.

Tiba-tiba saja Paris terlihat jauh lebih indah. Daun-daun yang berguguran tidak lagi terasa tragis baginya. Tatsuya menghirup udara dalam-dalam, seakan ingin menghilangkan sisa masalah yang mengganjal di dada. Di saat-saat seperti ini orang pertama yang muncul dalam pikirannya adalah gadis yang seperti obat penenang baginya. Tara Dupont.

Ia mengeluarkan ponselnya, menekan beberapa tombol, dan menmpelkan benda itu ke telinga. Ia menunggu sebentar. Begitu terdengar suara di ujung sana, senyumnya otomatis mengembang.

“Tara-chan, kau punya waktu?... Sebentar saja... Ya, sekarang... Aku ingin bertemu denganmu.”

* * *

“Ayah kandungmu?” Mata Tara terbelalak. Ia mengibaskan-ngibaskan tangan, lalu bertanya sekali lagi, “Kau tadi bilang, ayah kandungmu?”

“Mm-hmm,” sahut Tatsuya santai.

Mereka berdua duduk di bangku panjang di pinggir jalan, di bawah pohon-pohon yang daunnya berwarna cokelat, tidak jauh dari stasiun radio tempat Tara bekerja. Tatsuya baru saja menceritakan tentang pertemuannya dengan cinta pertama ibunya yang juga adalah ayah kandungnya.

Tara terpana, kaget dengan berita itu. Kejutan lain dari Tatsuya Fujisawa. Kemudian ia menatap Tatsuya dengan ragu-ragu. “Apa yang kaurasakan sekarang?” tanyanya hati-hati.

Tatsuya tersenyum. “Aku lega semuanya sudah selesai.”

“Ayah kandungmu itu... orang baik?”

Tatsuya mengangguk. “Mm... Kelihatannya begitu.”

Tara terdiam. Ia belum pernah menemui masalah seperti ini sebelumnya, jadi tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur ataupun mendukung Tatsuya. Tiba-tiba pundaknya terasa berat. Ia menoleh dan melihat kepala Tatsuya bersandar di pundaknya. Ia terkesiap dan wajahnya memanas.

“Tatsuya, kau sedang apa?” tanyanya heran.

“Sebentar saja,” gumam Tatsuya, tanpa mengangkat kepala. “Biarkan aku begini sebentar saja. Aku capek sekali.”

Tara pun berhenti bergerak-gerak. Ia bahkan menahan napas dan berusaha meredakan debar jantungnya yang semakin cepat, takut Tatsuya mendengarnya.

“Aku baru tahu sekarang kenapa ibuku selalu memaksaku belajar bahasa Prancis sejak aku kecil,” gumam Tatsuya dengan mata terpejam. “Ternyata Ibu ingin aku bisa bertemu dengan ayahku suatu hari nanti.”

Beberapa saat kemudian Tatsuya mengangkat kepala dan menatap Tara sambil tersenyum. “Lega sekali karena masalahku sudah selesai,” katanya. “Bagaimana kalau kita merayakannya malam ini?”

Tara bertepuk tangan. “Ah, benar! Kau pernah janji mau masak kari. Malam ini? Oke?”

Tatsuya tergelak. Ia mengulurkan sebelah tangan dan menyentuh kepala Tara. “Oke.”

Saat itu Tara hanya bisa tercengang. Sesaat ketika Tatsuya membelai kepalanya, ia tidak bisa merasakan degup jantungnya sendiri.

* * *

Tatsuya baru saja duduk di depan meja kerjanya ketika Sebastien menghambur masuk ke ruangan.

“Di sini rupanya,” kata Sebastien sambil berdiri di hadapannya.

Tatsuya memandang temannya dengan bingung. “Sebastien? Ada masalah?”

Sebastien mengibaskan tangannya. “Bukan masalah pekerjaan. Aku datang ke sini untuk menanyakan sesuatu yang pribadi.”

Tatsuya menyandarkan tubuh dan mendengarkan.

“Aku sudah mendengar dari Tara bahwa kalian berdua sering bertemu,” kata Sebastien sambil berjalan mondar-mandir di ruang kerja Tatsuya.

Tatsuya mengangguk sekali. “Ya, benar,” sahutnya. Lalu ia teringat sama sekali belum pernah memberitahu Sebastien tentang hubungannya dengan Tara.

Sebastien berhenti mondar-mandir dan menatapnya sambil berkacak pinggang. “Apa tujuanmu?” tanyanya langsung.

Tatsuya mengerjapkan mata. “Apa tujuanku?”

Sebastien menarik kursi dan duduk di hadapan Tatsuya. Raut wajahnya serius. “Dengar,” katanya, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Tara sudah seperti adikku sendiri. Aku tidak mau kau mempermainkannya.”

“Astaga! Sebastien...”

“Aku serius, Tatsuya,” sela Sebastien. “Aku tidak tahu bagaimana bentuk hubungan kalian, tapi aku hanya ingin mengingatkanmu. Jangan main-main dengannya.”

Tatsuya menghela napas dan mengangkat kedua tangan. “Sebastien, aku mengerti maksudmu. Tapi kenapa kau tiba-tiba bersikap begini? Apakah kau selalu begini dengan setiap laki-laki yang dekat dengannya?”

“Tidak,” sahut Sebastien. “Karena sebelum ini Tara tidak pernah menunjukkan gejala-gejala ia menyukai laki-laki mana pun.”

Alis Tatsuya terangkat. Tiba-tiba percakapan ini menjadi menarik.

“Lalu maksudmu sekarang dia menunjukkan gejala-gejala itu?” tanya Tatsuya tanpa bisa menahan rasa senang yang tiba-tiba saja terbit dalam hatinya.

“Demi Tuhan! Tatsuya, jangan senyum-senyum begitu. Aku tidak sedang bercanda,” kata Sebastien tidak sabar. “Dengar, aku merasa dia mulai menyukaimu. Jadi kalau kau tidak serius dengannya, cepat-cepatlah menyingkir. Aku tidak ingin Tara sakit hati atau semacamnya gara-gara kau.”

Itu kabar yang bagus sekali. Senyum Tatsuya elebar, lalu berubah menjadi tawa kecil.

“Tatsuya, kau dengar atau tidak?” tanya Sebastien dengan nada datar.

Tatsuya mengangkat kedua tangannya. “Aku mengerti, Teman. Sungguh, aku mengerti maksudmu.” Kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan melanjutkan, “Tenang saja, Sebastien. Aku tidak main-main dengan Tara-chan. Aku tahu apa yang harus kulakukan.”

Sebastien menatapnya dengan heran. “Tara-chan?”

* * *

“Tara, dari mana saja kau?” tanya Élise begitu Tara kembali ke meja kerjanya.

Tara menghela napas dan tersenyum. Hatinya berbunga-bunga.

Élise menatapnya dengan pandangan menyelidik. “Baru bertemu seseorang?”

Tara mengangguk-angguk, menikmati rasa penasaran temannya.

Élise menengadah, lalu kembali menatap Tara. “Pasti bukan Sebastien.”

Alis Tara terangkat. Bagaimana temannya bisa menebak begitu? Ia membuka mulut, “Bagaim...”

Tepat pada saat itu ponselnya berdering. Tara mengangkat jari telunjuknya menyuruh Élise menunggu sebentar, lalu menjawab ponselnya.

“Halo?... Oh, Papa!” Tara memindahkan ponselnya dari telinga kiri ke telinga kanan. “Malam ini? Tidak bisa... Mm, aku sudah punya janji... Oke, lain kali saja.... Aku akan ke tempat Papa kalau tidak sibuk.... Hari ini Papa boleh makan bersama salah satu pacar Papa.... Oke?... Oke... Sampai jumpa.”

“Dengan Monsieur Fujitatsu?” tanya Élise langsung.

Tara mengerjap-ngerjapkan matanya. “Apa?” Lalu ia teringat pembicaraan mereka sebelum ayahnya menelepon. “Ooh... Bagaimana kau bisa tahu?”

Élise tersenyum puas. “Jangan meremehkan Élise Lavoie. Aku pandai menebak yang masalah begini. Kau sadar, tidak, akhir-akhir ini kau sering menyebut-nyebut nama Tatsuya?”

Tara berpikir-pikir, lalu menggeleng.

“Dulu kau sering menyebutnama Sebastien,” jelas Élise. “Tapi sekarang kau lebih sering menyebut nama Tatsuya. Dulu kau menunggu-nunggu telepon dari Sebastien, sekarang kau tersenyum seperti orang gila kalau Tatsuya menelepon. Kau tentu tahu apa artinya semua itu.”

Oh... Memangnya dia begitu? Tara tidak merasa ia melakukan semua yang dikatakan Élise. Ia memang senang setiap kali mendapat telepon dari Tatsuya, tapi apakah ia sering membicarakan Tatsuya? Hmm...

“Kau sadar apa artinya?” tanya Élise sekali lagi.

“Apa?”

“Kau menyukainya.”

“Siapa?”

“Tatsuya, tentu saja. Siapa lagi?”

Tara mengerjap-ngerjapkan matanya. “Benarkah?”

Élise mendesah. “Kau sungguh tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?”

Tara menggeleng-geleng. Ia tidak tahu perasaannya. Sungguh. Bukankah selama ini ia menyukai Sebastien? Masa begitu mudahnya ia beralih ke laki-laki lain?

“Coba jawab pertanyaanku,” kata Élise serius. “Ketika kau bersama Tatsuya Fujisawa, apakah kau merasa bahagia?”

Tara berpikir sebentar, lalu mengangguk.

“Ketika kalian mengobrol, apakah kau pernah merasa bosan?”

Tara cepat-cepat menggeleng. Tidak pernah. Laki-laki itu tidak pernah membuatnya bosan. Malah selalu mengejutkannya.

“Apakah jantungmu berdebar dua kali lebih cepat setiap kali dia menatapmu atau tersenyum kepadamu?”

Tara berpikir lagi, dan akhirnya mengangguk. Bahkan kadang-kadang jantungnya serasa berhenti berdegup.

“Tadi... Ketika aku menemuinya tadi,” katanya perlahan. “Dia sempat menyentuh kepalaku. Seperti ini.” Ia menyentuh puncak kepalanya sendiri dengan telapak tangannya. “Hanya sebentar, tapi jantungku langsung tidak keruan. Aku belum pernah merasa seperti ini. Apa yang terjadi, Élise?”

Élise menopang dagunya dengan sebelah tangan dan tersenyum senang. “Lihat saja dirimu. Aku sudah mengatakannya padamu. Apa perlu kuulangi?”

“Tapi, Élise, bukankah aku menyukai Sebastien?” tanya Tara bingung. Ia tahu ia kedengarannya seperti orang bodoh karena bertanya pada orang lain mengenai perasaannya sendiri. “Bagaimana mungkin aku bisa menyukai dua orang sekaligus? Itu tidak benar.”

Élise menghela napas. “Baiklah, aku akan bertanya lagi.”

Tara memandang temannya, berharap Élise punya cara untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat.

“Ketika kau bersama Sebastien, apakah kau merasa bahagia?” Élise mengulangi pertanyaannya.

Tara mengangguk. Ya, tentu saja. Sangat menyenangkan bersama Sebastien.

“Ketika kalian mengobrol, apakah kau pernah merasa bosan?”

Tara menggeleng. Mereka tidak pernah kehabisan bahan obrolan.

“Apakah jantungmu berdebar dua kali lebih cepat setiap kali dia menatapmu atau tersenyum kepadamu?”

Kali ini Tara tidak langsung menjawab. Ia mengetuk dagunya dengan ujung jari telunjuk dan berpikir. Tidak, sepertinya jantungnya tidak berdebar kencang kalau bersama Sebastien. Ia memang senang bersama laki-laki itu, tapi tidak ada perasaan seperti napas tercekat, jantung berdebar kencang, atau bahkan jantung seakan berhenti berdetak. Biasa saja.

Tara menggeleng pelan.

Élise tersenyum puas. “Nah, lihat, kan? Kau menyukai mereka berdua, hanya saja rasa sukamu berbeda antara Sebastien dan Tatsuya.”

Tara mengerjapkan matanya seakan baru tersadar dari mimpi.

“Kau menyukai Sebastien sebagai teman, tapi kau menykai Tatsuya sebagai laki-laki,” Élise menyimpulkan.

Tara masih tetap diam.

“Ngomong-ngomong, kau sudah mengajaknya ke pestaku?” tanya Élise.


Delapan
TATSUYA menatap kertas di tangannya, lalu beralih menatap pemandangan Sungai Seine di luar jendela. Ia mengembuskan napas panjang dan kembali menatap nomor telepon yang tertera di kertas yang dipegangnya itu. Akhirnya ia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menghubungi nomor tersebut.
Jantungnya berdebar keras dan sebelah tangannya yang tidak memegang ponsel dibenamkan ke saku celananya sementara menunggu hubungan tersambung. Kemudian...
“Allô?”
Tatsuya mendengar suara orang itu di ujung sana. Suara seorang pria yang bernada rendah dan dalam. Sesaat ia tidak bisa bersuara. Gugup. Ia sadar ia tidak bisa mundur lagi. Sekarang atau tidak sama sekali.
“Allô?” Suara orang itu terdengar lagi.
Kali ini Tatsuya mengumpulkan segenap tenaga dan keberaniannya dan menjawab, “Bon soir. Benarkah ini Monsieur Jean-Daniel Lemercier?” Nama itu diucapkannya dengan berat sekali.
Sesaat tidak terdengar jawaban, lalu, “Benar, saya sendiri,” sahut pria di ujung sana.
“Selamat malam, Monsieur,” Tatsuya mengulangi. “Saya minta maaf karena mengganggu Anda malam-malam begini, tapi saya berharap bisa bertemu dan berbicara dengan Anda.”
Lawan bicaranya bertanya dengan nada curiga, “Kalau boleh tahu mengenai apa? Dan dengan siapa saya bicara?”
Tatsuya menarik napas. “Ini tentang Sanae Fujisawa,” sahutnya pelan dan jelas.
“Sanae Fujisawa?” pria itu mengulangi, seakan nama itu tidak membangkitkan ingatan apa-apa.
“Mungkin Anda lebih mengenalnya dengan nama Sanae Nakata,” Tatsuya menambahkan dengan cepat. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah Jean-Daniel Lemercier masih ingat? Ingatkah ia pada gadis yang ditemuinya di Jepang hampir tiga puluh tahun yang lalu? Apakah ia masih ingat apa yang terjadi saat itu?
“Nakata?” Nada suara yang terdengar di ujung sana berubah. “Maksudmu, Sanae Nakata?”
Tatsuya tidak menjawab. Ia menunduk dan memejamkan mata. Pria itu masih ingat. Ternyata masih ingat....
“Tunggu sebentar. Tolong katakan padaku apa hubunganmu dengan Sanae? Siapa ini?”
Tatsuya menarik napas dengan susah payah.
“Nama saya Tatsuya Fujisawa. Sanae Nakata adalah ibu saya,” sahut Tatsuya akhirnya. “Dan saya berharap bisa bertemu dengan Anda, Monsieur. Ada yang ingin saya bicarakan.... Besok siang? Baiklah, saya pasti datang.”
* * *
Sebastien meneguk air putih yang disuguhkan sambil melirik jam tangannya. Tara sudah terlambat 23 menit, tapi Sebastien tidak heran. Ia tidak berharap gadis itu bisa muncul tepat waktu, karena itu sama artinya dengan berharap salju turun di bulan Juli.
Hari ini Sebastien mengajak Tara makan siang untuk menebus acara makan siang mereka yang batal beberapa hari yang lalu. Sebastien sudah bersiap-siap menghadapi Tara Dupont yang marah-marah atau Tara Dupont yang merajuk, tapi tadi ketika ia menelepon Tara, gadis itu kedengarannya riang-riang saja. Memang agak aneh, tapi Sebastien berpikir mungkin gadis itu menunggu sampai mereka bertemu muka dan setelah itu Tara akan memuntahkan kekesalannya karena ditinggalkan begitu saja di restoran waktu itu.
Baiklah, Sebastien mengaku ia memang salah, tapi Sebastien yakin bisa menenangkan Tara. Ia sudah lama mengenal gadis itu dan ia tahu bagaimana harus menghadapinya.
Pintu bistro kecil itu terbuka dan Sebastien mengangkat wajah. Tara masuk dan memandang berkeliling ruangan. Sebastien mengangkat sebelah tangan untuk menarik perhatiannya. Gadis itu melihatnya dan langsung tersenyum. Oh, kelihatannya Tara tidak marah.
“Bonjour,” sapa Tara sambil menempelkan pipinya di pipi Sebastien. “Maaf, aku agak terlambat.”
“Aku sudah terbiasa menunggu,” gurau Sebastien.
Aneh... Gadis ini sungguh terlihat biasa-biasa saja. Tidak kesal. Tidak marah.
“Kau tidak mengajak Tatsuya?” tanya Tara setelah ia duduk dan melepas jaketnya.
Sebastien menggeleng. “Tidak,” sahutnya, masih berusaha menebak-nebak jalan pikiran Tara. Apakah gadis itu benar-benar tidak kesal dengan kejadian hari itu? “Tadi aku sudah mengajaknya, tapi katanya dia punya janji makan siang dengan seseorang, jadi dia tidak bisa ikut.”
“Oh?” gumam Tara, lalu membuka menu yang ada di meja. “Kau sudah pesan?”
Pelayan datang menanyakan pesanan. Setelah masing-masing menyebutkan apa yang mereka inginkan, si pelayan mengangguk dan meninggalkan meja mereka. Sebastien baru akan membuak mulut untuk bertanya ketika ponsel Tara berdering.
“Allô?”
Sebastien melihat senyum Tara mengembang.
“Oh, hai! Kau sedang di mana?” tanya gadis itu. “Di jalan?... Aku? Aku sedang makan siang bersama Sebastien.” Tara mengangkat wajahnya menatap Sebastien.
Siapa? Sebastien bertanya pada Tara tanpa suara. Pasit orang yang kenal dengannya juga, karena Tara menyebut-nyebut namanya. Tara memberi isyarat dengan tangannya supaya Sebastien menunggu sebentar.
“Tidak apa-apa. Aku sudah tahu dari Sebastien... Ya, katanya kau punya janji makan siang dengan seseorang,” lanjut gadis itu di telepon. “Dengan siapa?... Oh, baiklah. Nanti saja baru kauceritakan padaku.”
Alis Sebastien terangkat. Lho...?
Tara diam sejenak sambil mengangguk-angguk, lalu berkata, “Sibuk sampai malam?... Mm, aku masih harus siaran nanti... Oke. Sampai nanti.”
Sebastien menunggu sampai Tara mematikan ponsel, lalu bertanya, “Siapa yang menelepon tadi?”
“Tatsuya,” jawab gadis itu polos.
“Tatsuya?” ulang Sebastien. Ia nyaris tidak percaya pada pendengarannya. Apa maksudnya ini? Ia semakin bingung. “Bagaimana Tatsuya bisa meneleponmu? Maksudku, bukankah kalian baru bertemu sekali?”
Tara mengerjapkan matanya, lalu seakan baru menyadari sesuatu, ia bergumam, “Aaah... Benar juga. Aku lupa memberitahumu.”
“Apa?”
Tara tersenyum lebar. “Sebenarnya kami sudah sering bertemu. Kau benar, Sebastien. Dia memang oran gyang baik dan sangat menyenangkan.”
Sebastien mengangkat tangannya, meminta Tara bercerita lebih pelan. “Aku sudah ketinggalan banyak. Coba ceritakan dari awal.”
Tara pun menceritakan semuanya. Setelah selesai ia mengerutkan kening. “Tapi ngomong-ngomong, Tatsuya belum memberitahumu soal ini?”
Sebastien menggeleng. “Di kantor sibuk sekali, jadi kami jarang sekali bertemu,” sahutnya. “Kalaupun bertemu, kami hanya sempat membicarakan masalah pekerjaan. Tidak ada waktu banyak untuk mengobrol. Setiap hari di kantor dia bekerja seperti mesin.”
Tara mengerjapkan mata. “Oh?”
Pelayan datang lagi dan membawakan pesanan mereka. Mereka berdua terdiam sejenak, lalu Sebastien membuka mulut. “Ngomong-ngomong, kau tidak marah padaku?”
Tara mengangkat wajah dan menatap Sebastien dengan pandangan bertanya.
“Hari itu acara makan siang kita batal.”
“Oh... itu,” gumam Tara. Ia mendesis pelan dan mengangguk-angguk. “Sewaktu kau meninggalkanku demi si orang-orangan saw... maksudku, pacarmu itu?”
“Dia bukan pacarku,” Sebastien membela diri. “Setidaknya, belum bisa dibilang pacar.”
“Terserahlah.”
“Lalu, kau tidak marah?” tanya Sebastien lagi.
Tara meletakkan garpunya dan menatap Sebastien dengan tatapan tidak sabar. “Tentu saja aku marah,” katanya jengkel. “Siapa yang tidak marah kalau ditinggalkan begitu saja padahal kau yang lebih dulu mengajakku makan siang.” Lalu sikapnya melunak. “Tapi setelah itu Tatsuya mengajakku makan malam. Kau tahu makanan selalu membuatku terhibur. Dia memasak udon dan mengundangku makan di tempatnya. Ternyata dia pintar sekali memasak. Sayang sekali waktu itu kau tidak bisa ikut. Makan malamnya sangat menyenangkan.”
Sebastien membetulkan letak kacamatanya dengan kening berkerut. Sebenarnya apa yang sedang terjadi antara dua orang itu? Walaupun Tara tidak mengatakan apa-apa, kenapa Sebastien merasa sepertinya gadis itu menyukai Tatsuya?
* * *
Akhirnya Tatsuya berhadapan dengannya.
Jean-Daniel Lemercier yang saat ini duduk di hadapannya adalah seorang pria berusia sekitar lima puluhan yang tampan, tinggi, dan berambut cokelat. Matanya bersinar cerdas. Penampilannya rapi dan terawat.
“Jadi Sanae sudah meninggal dunia?” gumam pria yang lebih tua itu sambil menyesap kopinya dengan perlahan. Suara dan sinar matanya mengandung penyesalan.
Tatsuya mengangguk tanpa menyahut.
Mereka berdua berada di restoran mewah di sebuah hotel berbintang. Mereka sepakat bertemu di sana pada jam makan siang. Ketika Tatsuya tiba di sana, Jean-Daniel Lemercier sudah datang lebih dulu dan menunggunya. Pria itu langsung bertanya mengenai ibunya dan Tatsuya mengatakan ibunya sudah meninggal dunia.
“Tepatnya kapan?” tanya Jean-Daniel Lemercier tanpa menatap Tatsuya. Kelihatannya pria itu agak terguncang dengan kabar itu.
Tatsuya menyahut datar, “Setahun yang lalu.”
Pria yang duduk di hadapannya itu mengangguk muram, dan bertanya lagi, “Dia tidak menderita, bukan?”
Tatsuya terdiam beberapa detik. “Tidak.”
Selama beberapa saat tidak ada yang berbicara, lalu Jean-Daniel Lemercier memecah keheningan. “Aku turut menyesal,” katanya tulus. “Apakah ada yang bisa kulakukan untuk membantu?”
Tatsuya mengeluarkan sepucuk surat dari saku dalam jasnya dan meletakkannya di meja, di depan pria itu. Ia segera menarik kembali tangannya ketika menyadari tangannya sedikit gemetar.
Jean-Daniel Lemercier menatap surat yang disodorkan, lalu beralih menatap Tatsuya. “Apa ini?” tanyanya bingung.
“Ini surat yang ditulis ibuku sebelum Beliau meninggal dunia,” jawab Tatsuya. Ia mengangkat wajah dan memandang Jean-Daniel Lemercier yang sudah memegang surat itu.
“Tapi surat ini ditujukan untukmu,” kata pria itu begitu melihat nama yang tertulis di amplop.
Tatsuya mengangguk. “Memang benar. Tapi saya ingin Anda membacanya, Monsieur. Ibu juga ingin Anda membacanya, karena Beliau menulisnya dalam bahasa Prancis.”
Jean-Daniel Lemercier menurut dan mulai membaca. Kemudian raut wajahnya berubah dan keningnya berkerut. Ia menatap Tatsuya dengan pandangan bertanya.
Tatsuya merasa ada yang menyumbat tenggorokannya. Ia semakin gugup. Telapak tangannya terasa lembap. Inilah yang selalu dikhawatirkannya. Saat ini. Ketika rahasia mulai terbongkar. Ia bahkan sudah mempersiapkan diri dengan berbagai reaksi yang akan diterimanya.
“Ibu tidak pernah berkata apa pun ketika masih hidup. Seperti yang Anda baca di surat itu, Ibu berharap saya bisa bertemu dengan Anda,” kata-katanya semakin berat, “karena ternyata Anda adalah ayah kandung saya.”
Jean-Daniel Lemercier menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan tetap menatap surat di tangannya. Wajahnya pucat.
Selama beberapa saat, tidak ada yang bersuara, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tatsuya bisa mendengar debar jantungnya sendiri. Ia bertanya-tanya apa yang dipikirkan pria yang duduk di hadapannya itu. Pria itu menatap lekat-lekat surat yang dipegangnya. Sebelah tangannya bertopang pada lengan kursi dan mengusap-usap pelipisnya.
Tatsuya bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana perasaan Jean-Daniel Lemercier? Apakah ia marah? Sedih? Bingung? Kaget?
Tatsuya menarik napas. “Dalam suratnya Ibu berkata kalau kalian sempat menjalin hubungan. Saya tidak tahu kenapa Anda meninggalkan Ibu ketika Ibu sedang hamil....”
“Aku tidak tahu... ibumu hamil,” sela Jean-Daniel Lemercier. Ia menatap Tatsuya lurus-lurus. Sinar matanya hangat dan bersungguh-sungguh.
Tatsuya menatap mata itu dan tidak menemukan kemarahan di sana. Tidak ada. Ia mendapati dirinya memercayai pria itu.
Pria yang lebih tua itu melanjutkan, “Aku sama sekali tidak tahu. Kalau aku tahu... aku...”
Tatsuya memaksakan seulas senyum. “Saya tidak menyalahkan Anda, Monsieur. Bagaimanapun juga Ibu akhirnya menikah dengan Kenichi Fujisawa, ayah saya. Ayah saya orang yang sangat baik. Tidak pintar, tidak kaya, tapi sangat baik. Ayah menerima Ibu apa adanya dan selalu menganggap saya anak kandungnya sendiri. Tidak ada yang harus disesalkan.”
Jean-Daniel Lemercier masih shock. Ia tidak bisa berkata apa-apa.
Tatsuya melanjutkan. “Saya harap Anda tidak salah paham dengan tujuan saya menemui Anda. Saya tidak kekurangan apa pun, jadi saya tidak ingin meminta apa pun dari Anda. Saya hanya sekadar menuruti permintaan almarhumah ibu saya. Ibu saya ingin agar saya dan ayah kandung saya saling mengenal. Dan sekarang kita... sudah berkenalan, Monsieur.”
Pria yang lebih tua itu menarik napas berat, lalu bertanya, “Apakah kau marah pada ibumu karena tidak memberitahumu lebih awal?”
Tatsuya menunduk. Ia tidak mengira pria itu akan menanyakan hal itu, karena itu ia tidak bisa menjawab. Sebenarnya ya, ia sempat merasa marah. Marah karena dibohongi begitu lama, tapi sekarang...
“Aku harap kau tidak marah kepada ibumu.” Tatsuya mendengar suara rendah pria itu. “Aku yakin kau tahu ibumu sungguh tidak bermaksud menyakitimu.”
Tatsuya menatap wajah pria yang ternyata adalah ayah kandungnya. Ia sama sekali tidak menduga akan mendapat reaksi seperti ini dari Jean-Daniel Lemercier. Tadinya ia mengira pria itu akan membantah, menolak semua penjelasan, tidak bersedia mengakui apa pun, dan menuntut bukti. Kalaupun pria itu menolak percaya, Tatsuya tidak peduli. Ia tidak berusaha mendapat pengakuan. Ia hanya ingin bertemu dengan ayah kandungnya, seperti yang diinginkan ibunya. Tapi pria di hadapannya sekarang ini begitu berbeda. Ia merasa lega.
“Apakah Anda sendiri marah pada Ibu karena tidak mengatakan apa pun tentang kehamilannya?” Tatsuya mendengar dirinya sendiri bertanya.
Jean-Daniel Lemercier berpikir sejenak. “Marah bukan kata yang tepat,” sahutnya pelan. “Aku hanya heran. Tapi mungkin karena kami putus hubungan dan aku pergi dari Jepang, dia berpikir aku tidak akan peduli padanya lagi.”
“Anda sudah berkeluarga, Monsieur?” tanya Tatsuya lagi. Tiba-tiba saja ia ingin lebih mengenal ayah kandungnya.
Jean-Daniel Lemercier tersenyum lemah. “Aku pernah menikah. Itu terjadi beberapa tahun setelah aku meninggalkan Jepang dan kembali ke Paris,” sahutnya. “Aku punya seorang anak perempuan. Namanya Victoria. Mungkin lain kali akan kukenalkan kau kepadanya.”
Tatsuya memaksakan seulas senyum. Ia tidak yakin sudah siap berkenalan dengan anggota keluarga Lemercier yang lain. “Tidak perlu terburu-buru, Monsieur. Kita baru saja berkenalan hari ini.”
Ayah kandungnya mengangguk kecil. “Kau benar,” katanya. “Pelan-pelan saja. Kita punya banyak waktu. Aku berharap kita bisa saling mengenal sedikit demi sedikit.”
Tatsuya menunduk dan menarik napas pelan. Awal yang baik, pikirnya. Tidak seperti yang ditakutkannya selama ini. Jean-Daniel Lemercier memang sangat terkejut dan kebingungan, tapi pria itu bisa mengatasinya dengan baik. Syukurlah...
“Tatsuya?”
Tatsuya mengangkat kepalanya dan melihat Jean-Daniel Lemercier sedang memandangnya dengan mata yang bersinar ramah.
“Aku senang kau datang mencariku,” katanya sungguh-sungguh.