Satu
RUANGAN itu sudah sepi sejak satu jam yang lalu.
Semua lampu sudah dimatikan, kecuali yang terdapat di sudut ruangan dekat
jendela. Lampu di sana masih menyala karena masih ada seseorang di sana. Gadis
yang menempati meja di dekat jendela itu sebenarnya tidak benar-benar
membutuhkan penerangan karena ia tidak sedang bekerja.
Tara Dupont duduk bersandar di kursi dengan kedua
tangan dilipat di depan dada. Keningnya berkerut dan matanya menyipit menatap
lekat-lekat ponsel yang tergeletak di meja kerjanya. Ia menggigit bibir dan
tidak habis pikir kenapa ponsel imut dengan berbagai macam hiasan gantung itu
tidak berdering, tidak berkelap-kelip, tidak bergetar, tidak melakukan apa pun!
Ia memutar kursi menghadap jendela besar dan
memandang ke bawah, memerhatikan mobil-mobil yang berseliweran di jalan raya
kota Paris dengan tatapan menerawang. Langit sudah gelap. Ia melirik jam tangan
dan mendesah. Jam tujuh lewat. Dengan sekali sentakan ia memutar kembali
kursinya menghadap meja kerja.
“Ke mana saja kau?” desis Tara sambil
mengetuk-ngetuk ponselnya dengan kukunya yang dicat oranye.
“Kau bicara dengan ponsel?”
Tara mengangkat wajah dan menoleh. Élise Lavoie yang
baru masuk ke ruangan tersenyum kepadanya. Élise manis yang berambut pirang
emas sebahu, bermata hijau, dan berhidung berbintik-bintik itu berusia 29
tahun, beberapa tahun lebih tua daripada Tara, tapi secara fisik wanita itu
tidak terlihat seperti wanita Eropa seusianya. Perawakannya kurus, kecil, dan
dengan wajah seperti gadis remaja. Di satu sisi Élise menyukai kenyataan
itu—siapa yang tidak suka punya wajah awet muda? Tapi di sisi lain ia dongkol
setengah mati kalau ada orang yang menganggap remeh dirinya karena berpikir ia
masih remaja ingusan.
“Sudah selesai siaran?” tanya Tara ringan sambil mencondongkan
tubuh ke depan, menumpukan kedua siku di meja dan bertopang dagu.
Élise mengangguk dan berjalan ke meja kerjanya yang
persis di depan meja tara. “Bukankah kau sudah selesai siaran sejak...,” ia
melirik jam dinding, “satu setengah jam yang lalu?” tanya Élise dengan alis
terangkat.
Tara mendesah. “Memang,” jawabnya lemas. Ia menunduk
dan menyandarkan kening di meja, lalu mendesah keras sekali lagi.
Mereka berdua sama-sama penyiar di salah satu
stasiun radio paling populer di Paris. Élise lebih senior daripada tara dan
siaran utama yang ditanganinya adalah Je me souviens1..., yaitu acara yang
membacakan surat-surat dari para pendengar, sementara Tara membawakan program
lagu-lagu populer dan tangga lagu mingguan.
1 Aku mengenang
“Hei, kenapa lesu begitu?” tanya Élise sambil
mengetuk-ngetuk pelan kepala Tara dengan bolpoin. “Bukankah biasanya kau paling
suka hari Jumat?”
Tara mengangkat kepala dan tersenyum muram. Hari
Jumat memang hari yang paling disukainya karena hari Jumat adalah awal akhir
pekan yang ditunggu-tunggu. Tapi hari ini jadi pengecualian. Ia sedang tidak
gembira atau bersemangat.
“Ooh... aku mengerti,” kata Élise tiba-tiba dan
tersenyum. “Belum menelepon rupanya.”
Tara menggigit bibir dan mengangguk lemah. Ia
kembali melirik ponselnya. Lalu seakan sudah membulatkan tekad, ia mendengus
dan meraih ponsel itu. “Lupakan saja,” katanya tegas, lebih kepada dirinya
sendiri. Dengan gerakan acuh tak acuh ia melemparkan ponselnya ke dalam tas
tangan dan berdiri dari kursi.
“Élise, ayo kita pulang sekarang,” katanya. “Duduk
mengasihani diri sendiri juga tidak ada gunanya.”
Élise menatap temannya dengan bingung. “Yang mengasihani
diri sendiri itu siapa?”
*
* *
Lima belas menit kemudian, Tara dan Élise sudah
berada dalam lift kaca yang membawa mereka turun ke lantai dasar. Tara berdiri
membelakangi pintu lift dan menikmati pemandangan malam kota Paris yang
terbentang di depan mata. Pada awal perceraian orangtuanya dua belas tahun
lalu, ia tinggal bersama ibunya di Jakarta. Empat tahun kemudian, ketika berumur
enam belas, ia memutuskan pindah ke Paris dan tinggal bersama ayahnya. Sejak saat
itu, Paris menjadi hidupnya.
Bunyi denting halus membuyarkan lamunan tara. Mereka
sudah tiba di lantai dasar. Tara keluar dari lift dan melambaikan tangan kepada
temannya. Ia memarkir mobilnya di lapangan parkir di luar gedung sementara
mobil Élise sendiri diparkir di basement. Tara tidak mendapat fasilitas parkir
di basement karena ia tidak biasanya mengendarai mobil ke mana-mana. Ia lebih
suka naik Metro2, walaupun ia harus ekstra hati-hati terhadap tukang copet.
Tetapi pagi ini hujan turun cukup lebat, jadi terpaksa ia naik mobil.
Tara menunggu sampai pintu lift menutup dan
membalikkan badan. Ia baru saja akan melangkah ketika melihat seorang laki-laki
berdiri di dekat meja resepsionis di lobi gedung. Langkah kakinya terhenti dan
ia menahan napas, tapi hanya sesaat. Ia lalu memutuskan mengabaikan orang itu
dan kembali melangkah.
Laki-laki itu melihat Tara berjalan terburu-buru ke
arah pintu utama. Ia tersenyum dan melambai, tapi Tara mengabaikannya dan
mempercepat langkah.
“Mademoiselle3 Dupont.”
Tara mendengar panggilan laki-laki itu, tapi
pura-pura tidak mendengar. Ia keluar dari gedung dan melangkah cepat ke tempat
mobilnya diparkir, berusaha keras mengabaikan bunyi langkah kaki yang
menyusulnya. Angin musim gugur menerpa wajahnya dan Tara merapatkan jaket yang
dikenakannya.
“Mademoiselle Dupont, tunggu sebentar.”
Ketika ia hampir sampai di tempat parkir Mercedes
biru kecilnya, tara mengeluarkan kunci mobil. Terdengar bunyi pip dua kali
tanda pintu mobil sudah terbuka dan ia cepat-cepat masuk. Ia baru akan menutup
pintu ketika gerakannya tertahan.
2 kereta bawah tanah di Paris
3 Nona
“Bisa tunggu sebentar, Mademoiselle?” tanya
laki-laki itu sambil menahan pintu mobil. “Kenapa buru-buru?”
“Mau apa?” tanya Tara dengan nada sama sekali tidak
ramah. Ia menatap lawan bicaranya dengan tatapan yang dia harap berkesan tajam
dan menusuk.
Tara tidak pernah tertarik dengan pria Eropa pada
umumnya, dengan rambut pirang, mata biru, dan kulit putih. Tidak, ia lebih
memilih yang berkulit agak gelap dan rambut gelap, atau setidaknya cokelat.
Tetapi anehnya ia menganggap laki-laki jangkung berambut pirang yang berdiri di
sampingnya ini menarik.
Laki-laki itu terkekeh pelan dan menunduk. Rambutnya
yang dipotong rapi jatuh menutupi dahinya. “Aku sedang bertanya-tanya apakah
kau mau menemaniku makan malam.”
Dasar laki-laki Prancis! Tara menggerutu dalam hati.
Ia mendengus kesal dan melirik orang di sampingnya. Laki-laki itu sedang membetulkan
letak kacamata yang bertengger di hidungnya dan seulas senyum penuh percaya
diri tetap tersungging di bibirnya, seakan yakin Tara takkan menolak ajakannya.
Dasar playboy!
Karena Tara tidak menjawab, pria itu menambahkan,
“Aku yang traktir, tentu saja. Kau boleh memilih restaurannya.”
Tara berusaha terlihat tidak peduli, tapi akhirnya
ia tidak tahan lagi dan berseru, “Brengsek kau, Sebastien Giraudeau! Ke mana
saja kau selama ini? Kenapa tidak meneleponku?”
Senyum Sebastien Giraudeau melebar, sama sekali
tidak terpengaruh omelan Tara.
“Aku mau makan sate kambing!” kata Tara ketus. Ia
bersedekap dan menatap lurus ke mata Sebastien.
*
* *
Di Paris ini ada satu bistro kecil tidak terkenal
yang menjadi kesukaan Tara karena mereka menyajikan masakan Indonesia,
khususnya sate kambing kesukaannya. Bistro itu terletak di sebuah jalan kecil
yang agak sepi dan lumayan jauh dari pusat kota. Tidak banyak orang yang tahu
keberadaan bistro itu kecuali beberapa orang yang menjadi langgangan tetapnya,
seperti Tara. Selain ibunya, satu-satunya yang dirindukan Tara dari Indonesia
adalah makanannya. Bukannya Tara pemilih soal makanan, tapi kadang-kadang ia
bosan dengan makanan Prancis dan sate kambing yang sederhana itu bisa menjadi
semacam kemewahan baginya.
Lain halnya dengan Sebastien. Laki-laki itu tidak
terlalu suka sate kambing atau masakan Indonesia. Singkatnya, ia tidak terlalu
suka makanan lain selain makanan Eropa. Sewaktu membiarkan Tara memilih, ia
tahu benar Tara akan memilih bistro ini karena gadis itu penggemar berat sate
kambing. Tidak apa-apa. Kali ini Sebastien mengalah. Ia lebih suka melihat Tara
Dupont yang sibuk makan sate kambing dengan gembira daripada Tara Dupont
yangpura-pura tidak mengenal dirinya. Karena itu Sebastien harus puas dengan
nasi goreng yang dipesannya. Setidaknya makanan itu kelihatannya lumayan.
“Jadi,” kata Tara dengan mulut yang masih agak
penuh. Ia mengunyah sebentar, menelan, lalu melanjutkan, “Ke mana saja kau
seminggu terakhir ini? Kalau kau masih ingat, waktu itu kau janji mau
menjemputku di bandara. Kau tahu berapa lama aku menunggu? Kalau tidak bisa
menjemput, kau kan bisa menelepon? Bukankah itu salah satu alasanmu membeli
ponsel? Untuk menelepon?”
Sebastien tidak segera menjawab. Ia menahan senyum
dan berusaha meyakinkan dirinya sendiri sekali lagi bahwa ia lebih suka Tara
Dupont yang cerewet daripada Tara Dupont yang pura-pura tidak mengenalnya.
“Aku tahu apa yang sedang kaupikirkan. Jangan
coba-coba mengataiku cerewet,” ancam Tara sambil meraih setusuk sate lagi dan
menatap Sebastien dengan mata disipitkan.
Mereka berdua sudah berteman sejak Tara pindah ke
Paris. Mereka bertemu untuk pertama kalinya ketika Sebastien diajak menghadiri
pesta pembukaan restoran baru ayah Tara di Quartier Latin. Sebastien pernah
mengaku pada Tara bahwa pada awalnya ia berpikir gadis itu anak angkat karena
Tara berbeda sekali dengan ayahnya. Ayah Tara, Monsieur4 Dupont, adalah tipikal
orang Eropa, jangkung, tampan, dengan rambut cokelat terang, hidung mancung,
mata kelabu, dan kulit putih pucat, sedangkan putrinya, Tara Dupont, memiliki
ciri-ciri dominan orang Asia, dengan rambut hitam yang dipotong pendek dan
kulit yang putih, tapi tidak pucat. Sebenarnya kalau diperhatikan dengan
saksama, Tara juga memiliki mata kelabu dan hidung mancung seperti ayahnya.
Begitu pula dengan tinggi badannya yang melebihi rata-rata tinggi badan orang
Asia. Gabungan antara unsur Timur dan Barat membuat Tara Dupont memiliki wajah
yang unik, menarik, dan tidak mudah dilupakan.
Pada awalnya Sebastien tidak terlalu peduli pada
Tara karena menganggap gadis itu hanya orang asing yang belum bisa berbahasa
Prancis, tapi ia salah. Bahasa Prancis Tara tanpa cela dan Sebastien langsung
kagum, apalagi setelah tahu selain bahasa Prancis dan Indonesia, gadis itu juga
menguasai bahasa Inggris. Bahasa Inggris Sebastien yang orang Prancis buruk
sekali, sampai-sampai dia malu pada gadis Asia ini. Sebastien kemudian
menganggap Tara seperti adiknya sendiri dan mereka berdua sangat cocok. Mungkin
karena mereka punya kesamaan nasib. Mereka berdua anak tunggal, orangtua mereka
sudah bercerai walaupun masih berhubungan baik, dan mereka tinggal bersama ayah
mereka.
“Halo? Kau mau mulai menjelaskan sekarang atau mau
menunggu sampai salju turun?”
Sebastien mengangkat wajah dan mendapati Tara sedang
menatapnya dengan alis terangkat.
“Baiklah, aku minta maaf,” kata Sebasiten hati-hati
dan menyunggingkan senyum seribu watt-nya. “Aku minta maaf karena tidak bisa
menjemputmu di bandara. Aku juga minta maaf karena tidak menghubungimu.”
“Kau ke mana saja seminggu terakhir ini?”
“Tokyo.”
Tara mengerjapkan mata. “Tokyo? Jepang?”
Sebastien mengangguk. “Waktu itu ayahku sedang ada
di Tokyo untuk urusan kerja. Hari Sabtu lalu, hari kau kembali ke Paris, aku
mendapat telepon yang mengabarkan ayahku tiba-tiba jatuh pingsan di tengah
rapat.”
“Oh.”
Sebastien mengangkat sebelah tangan. “Tidak usah
cemas,” selanya cepat ketika melihat raut wajah Tara berubah prihatin. “Ayahku
hanya kelelahan dan jantungnya memang dari dulu sedikit bermasalah. Jadi aku
harus langsung terbang ke Tokyo untuk menggantikannya. Aku sudah pernah cerita
tentang rencana pembangunan hotel di sini yang bekerja sama dengan Jepang,
bukan?”
4 Tuan
Tara mengangguk. Ia ingat Sebastien pernah
menyebut-nyebut tentang proyek itu. Perusahaan arsitek ayah Sebastien akan
bekerja sama dengan perusahaan Jepang untuk membangun hotel di Paris. Sebastien
adalah salah satu arsitek yang terlibat dalam proyek ini.
“Karena ayahku harus beristirahat beberapa hari di
rumah sakit, aku yang harus melanjutkan pekerjaannya,” Sebastien meneruskan.
“Aku tidak punya banyak waktu luang untuk menelepon. Ditambah lagi perbedaan
waktu yang besar antara Jepang dan Prancis. Aku tidak bisa menemukan waktu yang
cocok untuk menghubungimu.”
“Di mana ayahmu sekarang?”
“Sudah sehat dan kembali bekerja seperti biasa,”
sahut Sebastian, lalu mengangkat bahu dan tersenyum lebar. “Ayahku itu tipe
orang yang tidak bisa diam.”
Tara mengangguk-angguk, lalu menunduk memandang
makanannya. Ia agak menyesali sikap gegabahnya. Marah-marah sendiri sebelum
tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Bagaimana kabar ibumu?” tanya Sebastien mengalihkan
pembicaraan.
Tara mengangkat wajahnya. “Mama? Seperti biasa.
Masih sibuk mendesain perhiasan dan aksesori.”
“Belum menikah lagi?”
Tara mengangkat bahu. “Belum. Sepertinya Mama tidak
berniat menikah lagi. Sama seperti Papa, kurasa.”
“Ada kabar baru apa lagi dari Indonesia?” tanya
Sebastien. Ia memang tidak mengenal keluarga Tara yang ada di Indonesia, tapi
ia suka mendengar gadis itu bercerita. Tara Dupont memiliki suara yang jernih
dan menyenangkan. Tidak heran ia dengan mudah diterima menjadi penyiar utama
program radio populer di salah satu stasiun radio paling terkenal di Paris.
“Kabar baru apa ya?” gumam tara sambil menekan-nekan
bibirnya dengan ujung sendok. “Aku bertemu sepupuku.”
“Sepupumu yang mana?”
“Yang tinggal di Korea. Aku baru tahu ternyata
pacarnya artis5,” sahut Tara, lalu mendadak mengalihkan pembicaraan,
“Ngomong-ngomong soal pacar, bagaimana dengan Jepang? Kau bertemu gadis Jepang
cantik di sana?”
Sebastien menjentikkan jarinya. “Ah, aku hampir lupa
memberitahumu.”
“Apa?” Tara mengerutkan kening dan langsung waswas.
Tadi ia hanya sekadar bertanya, tidak sungguh-sungguh ingin mendengar kisah
cinta Sebastien dengan gadis Jepang atau gadis mana pun.
“Aku punya teman di Jepang,” Sebastien memulai.
“Namanya Tatsuya Fujisawa.”
Tatsuya Fujisawa. Hmm... Sepertinya bukan nama
perempuan, pikir Tara.
“Dia juga arsitek dan dia akan bergabung dalam
proyek pembangunan hotel ini. Arsitek Jepang yang sebelumnya bertanggung jawab
dalam proyek ini mendadak menarik diri dari pekerjaan ini. Karena itu
perusahaan pihak Jepang mengusulkan agar Tatsuya yang menggantikannya.
“Tetapi ketika aku dan ayahku bermaksud menemuinya
di Tokyo, kami diberitahu dia sedang berada di Paris. Aku berhasil
menghubunginya dan berjanji akan meneleponnya lagi kalau aku sudah kembali ke
Paris.
Tara menunggu kelanjutannya. Ia masih belum mengerti
arah pembicaraan Sebastien.
5 Baca Summer in Seoul
“Jadi tadi aku meneleponnya dan memintanya datang ke
sini,” kata Sebastien ringan.
Tara mengerutkan kening. “Ke sini? Maksudmu
sekarang?”
Sebastien mengangguk. “Ya. Kau tidak keberatan,
bukan? Kau pasti akan menyukainya. Dia orang yang menyenangkan.”
Keberatan? Tentu saja Tara keberatan dan ia mengatakannya
langsung kepada Sebastien. “Kenapa kau tidak menemuinya besok atau hari lain?
Hari ini aku sedang tidak ingin berkenalan dengan orang asing.”
Sebastien heran melihat Tara mendadak kesal.
“Tatsuya bisa berbahasa Prancis. Sangat lancar. Kau tidak usah cemas,”
tambahnya, salah mengerti alasan kekesalan Tara.
“Kau kira aku keberatan dengan orang yang tidak bisa
berbahasa Prancis?” balas Tara jengkel. “Kau yang selalu merasa semua orang di
dunia harus bisa berbahasa Prancis. Tapi masalahnya bukan itu. Aku hanya... Ah,
sudahlah! Lupakan saja.”
Sebastien memperbaiki letak kacamatanya dengan
bingung.
Tara tahu Sebastien mengharapkan penjelasan.
Sebenarnya Tara kesal karena Sebastien seenaknya saja mengajak temannya
bergabung dengan mereka. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Sebastien dan hari
ini Tara ingin mengobrol berdua saja dengannya. Memangnya Sebastien tidak bisa
menemui orang itu setelah makan malam? Memangnya Sebastien tidak mengerti
perasaannya?
“Tapi kupikir...” Sebastien baru akan menjelaskan
ketika ponselnya berbunyi. “Halo? Oh, Tatsuya. Sudah sampai?”
Sebastien berpaling ke arah pintu dan Tara dengan
enggan mengikuti arah pandangnya. Ia melihat seorang pria berwajah Asia
memasuki bistro sepi itu sambil memandang ke sekeliling ruangan. Sebastien melambaikan
tangan. Pria itu melihatnya dan tersenyum.
“Aku akan berkenalan dengannya, tapi aku tidak akan
lama,” kata Tara cepat. “Hari ini aku sedang tidak ingin berbasa-basi. Aku
capek.”
Sebastien tidak menjawab karena temannya sudah tiba
di meja mereka.
“Sebastien, apa kabar? Senang bertemu lagi,” sapa
Tatsuya gembira. Bahasa Prancis-nya lancar, tidak terdengar logat asing sedikit
pun.
Sebastien berdiri, merangkul dan menepuk-nepuk
punggung temannya. “Aku juga senang bertemu denganmu lagi.”
Tara memerhatikan Tatsuya Fujisawa dengan cermat.
Laki-laki itu masih muda, usianya pasti sebaya Sebastien, sekitar akhir dua
puluhan. Bertubuh jangkung, setinggi Sebastien, dan sedikit lebih kurus
daripada Sebastien. Rambut hitamnya agak panjang—belum termasuk gondrong,
syukurlah, karena Tara benci laki-laki berambut gondrong—tapi sangat bergaya.
Mungkin itu model yang sedang trendi di Jepang. Cocok dengan bentuk wajahnya.
Matanya kecil, hidungnya mancung, dan dagunya kecil. Secara keseluruhan Tatsuya
Fujisawa memiliki wajah yang menyenangkan... dan menarik. Tara langsung memberi
nilai tujuh setengah untuknya.
Namun ada sesuatu yang mengganggu....
Tara mengerutkan kening. Laki-laki bernama Tatsuya
Fujisawa ini sepertinya tidak asing. Tidak, Tara yakin betul ia tidak pernah
bertemu laki-laki itu sebelumnya, tetapi ada sesuatu yang terasa tidak asing
dari diri Tatsuya Fujisawa.
“Kenalkan, ini temanku, Tara Dupont.”
Tara mengalihkan pandangan dan mendapati Sebastien
sedang menatapnya.
“Tara, ini Tatsuya Fujisawa,” Sebastien melanjutkan.
“Teman baikku dari Jepang.”
Tara memaksakan seulas senyum dan menyambut uluran
tangan Tatsuya. “Halo,” sapa Tara pendek. Seperti yang sudah dikatakannya tadi,
ia tidak berniat berbasa-basi.
“Panggil aku Tatsuya saja,” kata Tatsuya. Ia
tersenyum lebar, sambil sedikit membungkuk, sama sekali tidak menyadari suasana
hati Tara. “Senang berkenalan denganmu, Tara.”
Alis Tara terangkat sedikit. Koreksi, nilai Tatsuya
Fujisawa baru saja naik menjadi delapan. Ia suka cara pria itu mengucapkan
namanya. Orang Prancis melafalkan huruf “r” dengan cara yang berbeda dengan
orang Indonesia, karena itu nama Tara selalu terdengar aneh kalau diucapkan
dalam lafal Prancis. Selama ini hanya keluarganya yang di Indonesia yang bisa
mengucapkan namanya dengan tepat. Sekarang pria Jepang yang berdiri di
hadapannya ini memanggilnya dengan cara yang membuatnya merasa nyaman.
Sementara Sebastien dan Tatsuya bertukar sapa, Tara
terus memutar otak mencari tahu apa yang membuat Tatsuya Fujisawa terasa tidak
asing, tapi tetap tidak mendapat jawaban. Tara tidak suka merasa penasaran. Ia
tidak boleh penasaran karena rasa penasaran itu akan terus menggerogotinya
seperti lubang di gigi yang bisa membuat seluruh badan ikut sakit. Dan pada
pertemuan pertama saja Tatsuya Fujisawa sudah membuat Tara Dupont penasaran
setengah mati.
“Kuharap aku tidak mengganggu acara kalian,” kata
Tatsuya, membuyarkan lamunan Tara.
“Tidak, tidak,” sahut Sebastien cepat, sebelum Tara
sempat bereaksi. “Kau tidak tersesat kan? Bistro ini memang agak terpencil.”
Tatsuya menggeleng. “Sopir taksiku hebat,” katanya
sambil tersenyum lebar.
“Duduklah. Kau sudah makan?” lanjut Sebastien.
“Kuharap kau tidak keberatan makan makanan Indonesia. Tara ini penggemar
fanatik sate kambing.”
“Oh ya?” tanya Tatsuya sambil melepaskan jaket
cokelatnya dan menyampirkannya ke sandaran kursi. “Aku bersedia mencoba makanan
apa pun. Aku bukan orang yang pemilih soal makanan.”
Tara tersenyum acuh tak acuh, namun membuat catatan
dalam hati. Koreksi lagi, nilai Tatsuya Fujisawa naik menjadi delapan setengah.
Katanya tadi ia tidak memilih-milih kalau menyangkut makanan. Sikap yang
disenangi Tara.
“Dia juga penyiar radio,” Sebastian melanjutkan,
seolah sedang membanggakan anak kesayangan. Tiba-tiba Sebastien menjentikkan
jari dan menatap Tara. “Kalian punya acara yang membacakan surat-surat dari
pendengar, kan?” tanyanya.
Tara tidak menyahut, hanya mengerjapkan matanya dan
mengangguk acuh tak acuh.
Sebastien menoleh ke arah Tatsuya dan menepuk bahu
temannya. “Dengar, bukankah kau punya cerita bagus? Kau bisa menulis surat ke
acara itu.”
Tatsuya tertawa kecil dan menggeleng-geleng.
“Apa? Cerita apa?” tanya Tara. Oke, Sebastien
berhasil membangkitkan rasa penasarannya. Ia menumpukan kedua tangan di meja
dan mencondongkan tubuh ke depan.
“Dia belum menjelaskan detail ceritanya, tapi tadi
ketika dia meneleponku, katanya dia bertemu gadis Prancis yang membuatnya
terpesona,” sahut Sebastien. “Begitu datang dari Jepang langsung tertarik
dengan gadis Prancis. Hebat sekali.”
Tatsuya tersenyum malu. “Dia melebih-lebihkan,”
katanya pada Tara. “Aku tidak bilang begitu.”
“Jangan hiraukan Sebastien,” sahut Tara tanpa
memandang Sebastien. “Kalau kau punya cerita menarik, silakan tulis surat ke
acara kami. Siapa tahu kami akan membacakannya saat siaran.”
“Akan kupikirkan,” kata Tatsuya.
Tiba-tiba Tara merogoh tas tangannya dan
mengeluarkan ponsel. Ia menatap benda itu sejenak, lalu berkata kepada kedua
laki-laki di hadapannya itu dengan nada menyesal, “Maaf, aku tidak bisa tinggal
lebih lama. Ada urusan mendadak. Aku harus pulang sekarang.”
“Kenapa buru-buru?” tanya Sebastien bingung. Untuk
sesaat tadi ia pikir Tara sudah tidak kesal, tapi kenapa gadis itu harus
berpura-pura mendapat pesan tentang urusan mendadak?
Tara mengenakan kembali jaket dan syalnya sambil
berkata, “Aku akan meneleponmu lagi nanti, Sebastien.” Ia menoleh ke arah
Tatsuya, mengulurkan tangan dan tersenyum singkat. “Senang berkenalan denganmu.
Aku minta maaf karena tidak bisa mengobrol lebih lama. Mungkin lain kali.”
Tatsuya menyambut uluran tangannya dan tersenyum.
“Tidak apa-apa. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.” Tara merangkul Sebastien dan
menempelkan pipinya di pipi Sebastien dengan cepat, setelah itu ia melambai
kepada Tatsuya dan keluar dari restoran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar