Minggu, 18 Mei 2014



Dua
TARA duduk bersila di lantai ruang tengah apartemennya yang kecil dan berantakan. Ia menjulurkan kedua tangan ke depan, merentangkan kesepuluh jari, lalu mulai meniup kuku-kukunya yang baru dicat warna ungu pucat dengan giat. Pagi ini ia tidak punya jadwal siaran sehingga awalnya ia bermaksud merapikan apartemennya yang sudah seperti habis diamuk angin puting beliung. Ia memutuskan memulai dari lemari pakaian. Tetapi begitu menemukan sebotol cat kuku ungu pucat yang terselip di antara pakaian-pakaiannya, ia melupakan rencana awal dan akhirnya asyik mengecat kuku di ruang tengah sambil mendengarkan radio.
“Voilà!” Tara tersenyum puas dan menggerak-gerakkan kesepuluh jari tangan, mengagumi hasil karyanya.
“Selamat siang, para pendengar. Bagaimana kabar Anda semua hari ini?”
Tara mendengar suara Élise yang ceria di radio dan melirik jam dinding. Oh, Je me souviens... yang dipandu Élise sudah dimulai. Siaran itu adalah salah satu siaran paling diminati dan setiap hari banyak sekali surat pendengar yang masuk ke stasiun radio. Karena itulah acara itu disiarkan dua kali sehari. Tara sendiri suka mendengarkan siaran itu kalau sempat.
Suara Élise yang ramah terdengar lagi. “Surat pertama yang akan saya bacakan hari ini adalah surat dari salah seorang pendengar kita yang bernama Monsieur Fujitatsu.”
Fujitatsu? Tara mengerutkan kening. Nama asing, tapi herannya terdengar tidak asing.
“Aku baru tiba di Paris hari itu,” Élise mulai membaca. Suaranya jelas dan terkendali Élise punya suara yang sedikit menghipnotis dan menghanyutkan, jenis suara yang mampu mengajak pendengarnya ikut membayangkan apa yang diceritakannya.
“Ini adalah kunjunganku yang kesekian kalinya ke Paris. Biasanya setiap kali pesawatku mendarat di bandara Charles de Gaulle, aku akan melakukan hal-hal yang sudah rutin kulakukan. Aku turun dari pesawat, mengurus imigrasi, dengan sabar menunggu bagasiku muncul di ban berjalan, setelah itu langsung keluar dari bandara tanpa melihat kiri-kanan.
“Tapi hari itu berbeda. Ketika aku akan keluar dari bandara, aku melewati sebuah kafe dan mencium aroma kopi yang enak. Untuk pertama kalinya aku tergoda untuk duduk dan menikmati secangkir kopi panas. Aku tidak tahu apa yang menarikku, tetapi aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku hanya lelah setelah berjam-jam duduk di pesawat yang sempit.
“Kafe itu memberi kesan nyaman, dengan beberapa meja kecil dan kursi empuk. Aku memesan café crème1 dan ketika menunggu pesananku itulah sesuatu terjadi.
“Aku baru mengeluarkan Blackberry-ku dan mulai memeriksa jadwal kerja selama di Paris ketika seseorang menyenggol koperku yang kuletakkan di lantai, di samping meja.
“‟Maaf.‟
1 Espresso dengan krim
“Aku mendongak dan melihat seorang gadismuda sedang memperbaiki posisi koper berodanya yang menyenggol koperku. Ia tersenyum sekilas untuk meminta maaf. Sebelum aku sempat membalas senyumnya atau menyahut, ia sudah berbalik dan berjalan menjauhi mejaku sambil menarik kopernya. Kuperhatikan ia berjalan ke meja di dekat jendela kaca besar yang menghadap ke luar bandara. Dalam perjalanan singkat ke meja itu, kopernya menyenggol dua kursi dan nyaris melindas kaki salah seorang pelayan. Entah tidak menyadari atau tidak mau ambil pusing, gadis itu tetap berjalan seakan tidak ada yang terjadi.
“Ia duduk dan menyilangkan kaki. Posisinya sedikit membelakangiku. Tanpa melirik menu yang ada di meja, ia memanggil pelayan dan memesan sesuatu. Aku terlalu jauh untuk mendengar apa yang dikatakannya. Setelah itu ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan memandang ke luar jendela.
“Gadis itu... posisi duduknya... kaca jendela besar... sinar matahari menyinarinya.... Aku terpesona melihat kombinasi semua itu. Dengan sinar matahari dari luar, sosok gadis itu menjadi agak kabur, gelap, dan memberikan kesan misterius. Aku bisa saja terus memandangi gadis itu kalau saja aku tidak menyadari bahwa aku sudah punya janji bertemu seseorang hari itu.
“Kupikir aku tidak akan bertemu gadis itu lagi, tapi aku mulai menyadari bahwa hidup penuh kejutan.
“Aku bertemu lagi dengannya. Malam itu juga. Seperti yang kukatakan tadi, aku punya janji bertemu seorang teman di sebuah kelab dan aku datang terlalu cepat. Aku mengambil tempat duduk di bar yang agak ramai dan memesan minuman sambil menunggu.
“Kemudian seseorang menghampiri bar dan berseru, „Hugo! Aku minta tequila sunrise satu lagi!‟
“Aku menoleh ke arah suara lantang dan jernih itu dan agak terkejut mendapati gadis cantik yang berdiri di sebelahku adalah gadis yang sama yang kutemui di bandara tadi sore. Ia bahkan masih memakai pakaian yang sama: turtleneck lengan panjang berwarna biru turkois dan celana panjang krem. Ia tidak mengenakan jaket.
“‟Hugo!‟ seru gadis itu lagi sambil mengangkat gelas kosong yang dipegangnya untuk menarik perhatian si bartender.
“Bartender berkepala botak yang dipanggil Hugo itu datang menghampiri.
“‟Hugo, tequila sunrise satu lagi,‟ ulang gadis itu sambil menggoyang-goyangkan gelasnya. Ia menyunggingkan senyum manis, seakan berusaha membujuk si bartender mengabulkan permintaannya.
“Kelihatannya si bartender dan gadis itu sudah saling mengenal dengan baik karena Hugo mengangkat sebelah alisnya dan menatapnya dengan tatapan curiga, lalu bertanya dengan nada menantang, „Kau datang sendirian?‟
“Si gadis mengangguk tegas, lalu mengangkat dagu. „Memangnya kenapa?‟ balasnya dengan nada menantang yang sama.
“‟Menurutku kau sudah minum terlalu banyak,‟ kata Hugo pelan, mengalah sedikit. „Aku bisa dipecat kalau kau sampai mabuk di sini.‟
“Gadis itu menatap Hugo dengan mata disipitkan, lalu tersenyum lebar. „Aku belum mabuk, Teman,‟ bantahnya. Mendadak ia menoleh ke arahku dan berkata, „Monsieur, tolong katakan padanya kalau aku belum mabuk.‟
“Aku mengamati gadis itu. Menurutku ia memang sedikit mabuk, tapi ia masih bisa berdiri tegak, ucapannya masih jelas, dan pandangannya masih terfokus.
“Aku berdeham dan berkata pada Hugo, „Sepertinya dia belum terlalu mabuk.‟
“Hugo menopangkan kedua tangan di meja bar dan menggeleng-geleng. „Kalau dia sudah memanggilku Hugo, artinya dia sudah harus pulang,‟ katanya tegas.
“Aku memandang Hugo tidak mengerti.
“Hugo menarik napas, lalu berkata dengan nada datar, „Namaku bukan Hugo.‟
“Aku memanggilmu Hugo karena namamu sangat susah diucapkan,‟ gadis itu membela diri dan tertawa kecil. „Tidak berarti aku mabuk.‟
“Karena hari ini kau datang sendirian, sebaiknya kau jangan mabuk-mabukan,‟ kata Hugo lagi. „Tidak ada yang bisa mengantarmu pulang kalau kau mabuk.‟
“Gadis itu mengibas-ngibaskan tangannya. „Kau benar-benar menyebalkan, Hugo,‟ gerutunya, lalu mengangguk. „Tapi kau benar. Minum sendirian memang tidak menyenangkan. Aku pulang saja.‟
“‟Mau kupanggilkan taksi?‟ aku menawarkan. Biasanya aku bukan orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Entah apa yang merasukiku waktu itu.
“Dia menatapku. Dari raut wajahnya aku hampir yakin gadis itu akan mengucapkan kata-kata seperti „Aku memang sedikit mabuk, tapi aku tidak tolol, Bung. Mana mungkin aku membiarkan diriku ditipu pria asing yang kutemui di bar? Memanggilkan taksi? Yang benar saja!‟
“Namun imajinasiku terlalu berlebihan, karena pada kenyataannya gadis itu hanya tersenyum, menggeleng pelan, dan berkata, „Terima kasih, tapi tidak perlu. Aku bisa sendiri.‟
“Aku memandangi punggung gadis itu sampai ia menghilang di balik kerumunan orang. Aku ingin bertanya pada Hugo tentang gadis itu, tapi tidak jadi. Kalau Hugo memang kenal baik dengan gadis itu, ia pasti akan curiga kalau aku bertanya macam-macam. Tapi harus kuakui, ada sesuatu dari gadis itu yang membuatku tertarik.”
Ceritanya berhenti sampai di situ. Tara mendengar Élise menghela napas dan berkata dengan nada menyesal, “Monsieur Fujitatsu, Anda membuat kami semua penasaran sekali. Anda tertarik pada gadis itu, bukan? Apakah Anda sedang mencarinya? Apakah Anda bertemu dengannya lagi? Mungkinkah itu cinta pada pandangan pertama?
“Ngomong-ngomong soal cinta pada padnangan pertama, akan saya putarkan satu lagu untuk Anda semua, terutama kepada Anda, Monsieur Fujitatsu. Para pendengar, walaupun tidak semua orang percaya pada cinta pada pandangan pertama, kuharap Anda semua menikmati lagu ini.
“Oh ya, Monsieur Fujitatsu, tolong kabari kami lagi kalau ada perkembangan menarik.”
Tara tersenyum sendiri. Monsieur Fujitatsu itu sepertinya tipe pria romantis. Tara baru akan berdiri dan membereskan cat kukunya ketika gerakannya terhenti.
Fujitatsu?
Tara mengerjap-ngerjapkan mata.
Fujitatsu... Fuji-Tatsu... Fujisawa Tatsuya...? Tatsuya Fujisawa?!
Tara mengerutkan kening dan berpikir. Mungkinkah? Mungkin saja. Sebastien pernah menyebut-nyebut soal tatsuya yang terpesona dengan gadis Prancis. Jangan-jangan laki-laki itu menuruti saran Sebastien dan mengirimkan ceritanya ke acara Élise.
Sebenarnya Tara masih sangat penasaran dengan laki-laki bernama Tatsuya Fujisawa itu. Sampai sekarang ia belum berhasil menemukan jawaban atas rasa penasarannya yang dulu. Ia baru bermaksud melupakan masalah itu sebelum ia sendiri menjadi gila karena memikirkannya terus-menerus, namun kini bertambah satu hal lagi yang membuatnya penasaran.
Tara ingin memastikan. Oh ya, ia punya janji makan siang dengan Sebastien hari ini. Ia bisa bertanya pada Sebastien. Tara mengangguk-angguk dan berdiri dengan susah payah karena kakinya mulai kesemutan.
Tiba-tiba ia mendengar bunyi ponsel. Ia berjalan tertatih-tatih ke kamar tidurnya dan mengambil ponsel yang tergeletak di tempat tidur. Ia menatap layar ponsel dan tersenyum.
“Allô, Sebastien,” katanya begitu ia menempelkan ponsel ke telinga. Ia mengempaskan dirinya ke tempat tidur dan memijat-mijat kakinya. “Aku baru saja berpikir akan meneleponmu.”
“Tara, maaf,” sela Sebastien di ujung sana. “Hari ini aku tidak bisa makan siang denganmu.”
Senyum Tara memudar dan ia mendesis kesal.
“Ada apa?” tanya Sebastien polos.
“Tidak apa-apa. Kakiku kesemutan,” sahut Tara ketus. “Kenapa tidak bisa makan siang? Kau ada kencan dengan gadis yang baru kaukenal lima belas menit yang lalu?”
Sebastien terkekeh. “Tidak, ya, dan tidak,” jawabnya asal-asalan.
“Apa?”
“Tidak, itu bukan kencan. Ya, aku akan menemui seorang wanita. Tidak, dia bukan orang yang baru kutemui lima belas menit yang lalu,” jelas Sebastien dengan nada bercanda.
Tara mendesah kesal. “Sebastien...”
“Baiklah,” potong Sebastien. “Aku harus pergi ke Nice untuk menemui kepala proyek kami. Ada masalah yang harus segera ditangani. Ngomong-ngomong, kepala proyek kami itu wanita dan aku sudah mengenalnya sejak tiga tahun lalu.”
“Kapan kau kembali?”
“Mmm... belum pasti. Mungkin besok, mungkin lusa. Tergantung masalah yang harus diselesaikan. Aku akan meneleponmu begitu aku kembali. Oke?”
“Oke,” sahut Tara, tidak ada pilihan lain. Tiba-tiba ia teringat, “Oh ya, Sebastien.”
“Hm?”
“Temanmu yang dari Jepang itu—Tatsuya Fujisawa—yang kaukenalkan padaku sekitar dua minggu yang lalu...”
“Mm, kenapa?”
“Kau pernah mengusulkan mengirimkan ceritanya ke acara stasiun radio kami. Kau ingat?”
Sebastien terdiam sejenak, berpikir. “Oh, benar. Aku ingat. Lalu?”
“Apa kau tahu dia sudah mengirimkannya atau belum? Atau kau sudah tahu cerita lengkapnya?”
“Tidak, aku tidak tahu. Dia tidak mau menceritakannya padaku. Katanya aku pasti akan menertawakannya.”
Tara tertawa kecil. “Kau memang senang menertawakan orang.”
“Kenapa tiba-tiba bertanya tentang dia?”
“Aku sedang mendengarkan siaran Élise tadi dan dia membacakan surat yang menarik. Aku hanya ingin memastikan itu cerita temanmu atau bukan. Aku benar-benar penasaran. Bisa kautanyakan kepadanya?”
“Aku tidak keberatan bertanya padanya. Hanya saja orangnya sedang tidak ada di sini. Dia sudah pulang ke Tokyo.”
“Oh? Kapan?”
“Mmm... sehari setelah kita bertemu dengannya,” sahut Sebastien. “Kita bertemu hari Jumat, bukan? Besoknya dia langsung pulang ke Tokyo.”
“Oh?”
“Tapi dia akan kembali. Dia pulang ke Tokyo untuk membereskan semua pekerjaannya sebelum memfokuskan perhatiannya untuk proyek kami ini. Dengar-dengar dia akan kembali sebentar lagi. Dalam minggu-minggu ini, kurasa,” Sebastien menjelaskan, lalu melanjutkan dengan nada bergurau, “kau tenang saja. Akan kutanyakan padanya begitu dia kembali ke sini. Aku tahu kau tidak boleh dibiarkan penasaran. Kalau tidak, orang-orang di sekitarmu bisa terluka.”
Tara tersenyum. “Telepon aku kalau kau sudah kembali dari Nice. Semoga tidak ada masalah gawat di sana.”
Tara mematikan ponsel dan menghela napas. Sejak aktif seratus persen di perusahaan ayahnya, Sebastien terlalu sibuk. Kadang-kadang Tara merindukan masa lalu, saat Sebastien masih mahasiswa arsitektur yang punya banyak waktu luang. Walaupun selalu dikelilingi gadis-gadis dan gonta-ganti pacar, Sebastien juga selalu menyediakan waktu untuk Tara, selalu ada kalau Tara membutuhkannya, selalu siap menemani dan menghiburnya. Tara tahu benar sikap Sebastien terhadapnya sama dengan terhadap gadis-gadis lain, tapi hal itu tidak mencegahnya menyukai laki-laki itu.
Tara berpikir-pikir. Ia sedang tidak ingin makan siang sendiri hari ini, tapi Sebastien tidak bisa menemaninya. Siapa lagi ya?
“Ah, benar juga. Papa!” serunya pelan. Ia memencet nomor telepon ayahnya dan menempelkan ponsel ke telinga.
“Allô, Papa?” katanya begitu hubungan tersambung. “Ada waktu sekarang?... Bisa makan siang bersama?... Kenapa?... Papa sedang bersama siapa? Dengan wanita yang mana? Masih sama dengan yang minggu lalu atau sudah yang baru?... Astaga! Papa, berhentilah bermain-main... Tidak, tidak usah. Mm... Sampai ketemu makan malam nanti. Daah.”
Tara memutuskan hubungan dan mendecakkan lidah. Kenapa ia dikelilingi pria mata keranjang? Papa sama saja dengan Sebastien. Itulah salah satu sebab Mama bercerai dari Papa. Tara akui, ayahnya memang bukan suami yang baik, tapi ia ayah yang baik. Ayah paling baik sedunia. Tara juga yakin, di antara semua wanita yang ada di bumi, dirinyalah yang paling berharga bagi ayahnya.
Tara mendecakkan lidah sekali lagi. “Masa aku harus makan sendiri?” tanyanya pada diri sendiri. Ia memberengut, lalu mendesah berlebihan, dan menggerutu, “Apa boleh buat?”
* * *
Karena satu jam lagi ia harus siaran, Tara memilih makan siang di brasserie2 yang paling dekat ke stasiun radio, sehingga ia tidak perlu buru-buru mengejar waktu siaran. Ia memilih meja kosong di pojok dan memandang berkeliling mencari pelayan. Ia mengangkat sebelah tangan ke arah pelayan yang sedang berjalan ke meja dekat pintu. Ternyata si pelayan sedang mengantarkan pesanan laki-laki berambut hitam yang menempati meja di sana. Tara mengerjapkan mata. Sepertinya ia pernah melihat orang itu.
Karena sibuk mengamati si laki-laki berambut hitam, Tara tidak menyadari pelayan lain menghampiri mejanya dan menanyakan pesanan.
Tiba-tiba Tara ingat. Tatsuya Fujisawa! Laki-laki itu Tatsuya Fujisawa! Ia melompat berdiri dan nyaris menabrak pelayan yang berdiri di dekatnya.
“Maaf,” kata Tara buru-buru setelah si pelayan mundur selangkah karena terkejut. “Saya ingin menyapa teman saya dulu di sana.”
Pelayan itu mengangguk acuh tak acuh dan pergi. Tara segera menghampiri meja Tatsuya.
“Permisi,” katanya agak ragu.
Laki-laki itu mengangkat wajah dan menatapnya dengan bingung. “Ya?”
2 mirip kafe, menyediakan makanan sederhana dan cepat saji.
Senjata utama untuk menghadapi orang-orang adalah senyum yang manis dan sopan. Karena itulah Tara memasang “kuda-kuda”-nya dengan menyunggingkan senyum ramah. “Tatsuya Fujisawa, bukan?” tanyanya.
“Benar, saya sendiri,” jawab Tatsuya. Raut wajahnya masih tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
“Masih ingat padaku?” tanya Tara hati-hati, takut laki-laki itu tidak mengenalinya. Kalau itu sampai terjadi ia berharap ia punya rencana cadangan. “Aku Tara Dupont, teman Sebastien Giraudeau. Kita pernah bertemu sekitar dua minggu yang lalu.”
Tatsuya masih terlihat bingung sesaat, lalu wajahnya berubah cerah. “Oh, benar, Tara,” katanya sambil tersenyum lebar. “Apa kabar?”
Tara lega laki-laki itu masih mengingatnya. Ia menjabat tangan Tatsuya yang terulur. Kali ini ia menyadari jabatan tangan Tatsuya tegas, sama seperti Sebastien. Tara suka itu. Ia juga baru menyadari laki-laki itu punya lesung pipi yang membuat senyumannya terlihat hangat dan bersahabat.
“Makan siang sendirian? Atau sedang menunggu seseorang?” tanya Tara setelah menarik kembali tangannya.
Tatsuya menggeleng. “Tidak, aku memang sendirian. Bagaimana denganmu?”
Tara menyunggingkan senyum termanisnya. “Aku juga sendirian.”
“Kalau begitu, silakan bergabung saja denganku,” Tatsuya menawarkan sambil menunjuk kursi di hadapannya.
“Terima kasih,” sahut Tara dan menerima ajakannya dengan senang hati karena itulah yang ia harapkan. Ia sedang benar-benar tidak ingin makan sendirian. “Aku baru saja datang ketika melihatmu. Jadi kuputuskan untuk menyapamu karena sewaktu pertama kali bertemu kita belum sempat bicara banyak.”
“Tidak apa-apa,” kata Tatsuya. Ia mengangkat sebelah tangan untuk memanggil pelayan.
Seorang pelayan datang menghampiri meja mereka. Tara menyebutkan pesanannya dan pelayan itu pun berlalu.
“Kata Sebastien kau sudah pulang ke Tokyo,” kata Tara sambil merapikan rambut pendeknya dengan sebelah tangan. Gerakan yang sudah menjadi kebiasaannya bila berhadapan dengan laki-laki yang menarik baginya.
Tatsuya mengangguk. “Memang benar, tapi kemarin aku kembali lagi ke sini. Aku pulang ke Tokyo hanya untuk mengurus pekerjaanku yang tertinggal,” jelasnya.
“Ngomong-ngomong, ada yang ingin kutanyakan,” kata Tara ketika teringat surat yang dibacakan Élise saat siaran tadi. “Apakah kau menulis surat ke stasiun radio kami?”
Tatsuya mengangkat alisnya. “Kalian sudah menerimanya?”
Tara tertawa. “Sudah kuduga! Fujitatsu itu kau?”
Tatsuya tersenyum malu dan berkata, “Aku tidak pandai bercerita, tapi Sebastien berhasil membujukku. Cerita yang konyol, bukan?”
Tara cepat-cepat menggeleng. “Tidak, ceritamu bagus. Temanku malah sudah membacakan-nya saat siaran hari ini. Aku penasaran sekali karena nama Fujitatsu kedengarannya tidak asing.”
“Kalau tidak salah, kau sendiri juga penyiar, bukan?”
“Benar,” sahut Tara ringan.
“Kau menikmati pekerjaanmu?”
Tara mengangguk tegas, lalu tersenyum. “Kata Sebastien, menjadi penyiar radio memang cocok untukku karena aku ini cerewet sekali.”
“Sepertinya Sebastien memang benar,” ujar Tatsuya.
“Lalu bagaimana?”
“Bagaimana apa?”
Saat itu pelayan datang mengantarkan pesanan Tara. Tara mengucapkan terima kasih dan setelah pelayan itu pergi, ia kembali menatap laki-laki di hadapannya. “Kau ingin mencari gadis itu?” tanya Tara langsung.
Tatsuya tertawa. “Tidak.”
“Tidak?” Tara mengerutkan kening. Itu bukan jawaban yang diharapkannya.
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Kenapa harus?”
“Lalu apa rencanamu?”
“Tidak ada rencana apa-apa.”
“Aneh.”
“Tidak aneh.”
Tara menatap Tatsuya dengan mata disipitkan. Tatsuya balas menatapnya sambil tersenyum. Laki-laki itu punya senyum yang menular. Begitu melihat senyumnya, Tara tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
“Biarkan aku bertanya satu hal,” kata Tara sambil mengangkat jari telunjuknya.
“Rupanya kau penasaran sekali dengan ceritaku,” kata Tatsuya sambil menunduk dan menyantap makanannya.
“Aku memang mudah penasaran. Itu salah satu kelemahanku,” ujar Tara riang, seakan ia sendiri tidak menganggap hal itu suatu kelemahan. “Kata Sebastien aku bisa berbahaya bagi umum kalau aku sedang penasaran.”
“Aku yakin Sebastien benar.”
“Asal kau tahu saja, kau benar-benar membuatku penasaran. Maka dari itu, jawab saja pertanyaanku. Setelah itu aku tidak akan bertanya-tanya lagi,” Tara berjanji dan memasang wajah bersungguh-sungguh, walaupun ia sendiri tahu ia takkan bisa berhenti bertanya.
Tatsuya menatapnya sejenak, lalu menyerah. “Baiklah. Tanya saja.”
Tara menumpukan kedua siku di meja dan mencondongkan tubuh ke depan. “Kau ingin bertemu gadis itu lagi?”
Tatsuya mengangkat alisnya, berpikir-pikir, lalu menunduk dan kembali menyantap makanannya. “Tentu saja.”
“Tapi kau tidak mau mencarinya?” desak Tara.
Tatsuya tersenyum. “Tadi kau bilang hanya akan menanyakan satu pertanyaan.”
Tara mengembuskan napas dengan keras. Baiklah, sepertinya ia sungguh-sungguh harus menekan rasa penasarannya. Sebagai gantinya mereka mengobrol tentang hal lain sepanjang makan siang dan Tara merasa Tatsuya Fujisawa adalah teman mengobrol yang menyenangkan. Mengobrol dengannya serasa mengobrol dengan teman lama. Mereka tidak pernah kehabisan bahan obrolan. Meskipun begitu, tetap saja Tara tidak bisa menghilangkan perasaan mengganggu bahwa ada sesuatu pada Tatsuya yang membuatnya bingung.
“Ada rencana khusus akhir pekan ini?” tanya Tara setelah mereka membayar makanan dan keluar dari brasserie. Tara ngotot membayar makanannya sendiri sementara Tatsuya bersikeras mentraktirnya. Setelah melalui adu mulut yang cukup seru, Tatsuya mengalah.
“Aku berencana akan berkeliling kota. Aku sudah berkali-kali datang ke Paris, tapi sama sekali belum sempat melihat-lihat,” jelas Tatsuya, lalu ia menoleh ke arah Tara. “Kau mau menjadi pemanduku?”
Tara tersenyum. “Tidak masalah.” Ia sama sekali tidak keberatan menemani Tatsuya. Ia merasa nyaman dan senang bersama laki-laki itu. Ditambah lagi, Tara sangat penasaran dengan Tatsuya. Ia ingin tahu lebih banyak, ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengganggunya sejak mereka bertemu pertama kali.
“Kalau begitu, besok jam sepuluh pagi kita bertemu di sini,” kata Tatsuya.
“Oke,” jawab Tara tanpa berpikir.
“Oh, ajak Sebastien juga,” tambah Tatsuya.
“Tapi Sebastien sedang ada di Nice. Aku tidak tahu kapan dia akan pulang,” sahut Tara.
Tatsuya berpikir-pikir, lalu mengangkat bahu. “Ya sudah. Tidak apa-apa. Jadi, sampai ketemu besok jam sepuluh.”
“Oke.”
Tatsuya melambai dan berjalan pergi. Tara menatap kepergiannya sesaat, lalu mengerjap-ngerjapkan mata.
“Tadi dia bilang jam berapa?” gumamnya pada diri sendiri, lalu terbelalak. “Jam sepuluh? Pagi? Besok? Besok itu hari apa? Minggu? Benar, Minggu. Astaga! Kenapa aku setuju bertemu jam sepuluh pagi? Ah, kacau!”
Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mengerang kesal, mengentakkan kaki, lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar