Dua
TARA duduk bersila di lantai ruang tengah
apartemennya yang kecil dan berantakan. Ia menjulurkan kedua tangan ke depan,
merentangkan kesepuluh jari, lalu mulai meniup kuku-kukunya yang baru dicat
warna ungu pucat dengan giat. Pagi ini ia tidak punya jadwal siaran sehingga
awalnya ia bermaksud merapikan apartemennya yang sudah seperti habis diamuk
angin puting beliung. Ia memutuskan memulai dari lemari pakaian. Tetapi begitu
menemukan sebotol cat kuku ungu pucat yang terselip di antara
pakaian-pakaiannya, ia melupakan rencana awal dan akhirnya asyik mengecat kuku
di ruang tengah sambil mendengarkan radio.
“Voilà!” Tara tersenyum puas dan menggerak-gerakkan
kesepuluh jari tangan, mengagumi hasil karyanya.
“Selamat siang, para pendengar. Bagaimana kabar Anda
semua hari ini?”
Tara mendengar suara Élise yang ceria di radio dan
melirik jam dinding. Oh, Je me souviens... yang dipandu Élise sudah dimulai.
Siaran itu adalah salah satu siaran paling diminati dan setiap hari banyak
sekali surat pendengar yang masuk ke stasiun radio. Karena itulah acara itu
disiarkan dua kali sehari. Tara sendiri suka mendengarkan siaran itu kalau
sempat.
Suara Élise yang ramah terdengar lagi. “Surat
pertama yang akan saya bacakan hari ini adalah surat dari salah seorang
pendengar kita yang bernama Monsieur Fujitatsu.”
Fujitatsu? Tara mengerutkan kening. Nama asing, tapi
herannya terdengar tidak asing.
“Aku baru tiba di Paris hari itu,” Élise mulai
membaca. Suaranya jelas dan terkendali Élise punya suara yang sedikit
menghipnotis dan menghanyutkan, jenis suara yang mampu mengajak pendengarnya
ikut membayangkan apa yang diceritakannya.
“Ini adalah kunjunganku yang kesekian kalinya ke
Paris. Biasanya setiap kali pesawatku mendarat di bandara Charles de Gaulle,
aku akan melakukan hal-hal yang sudah rutin kulakukan. Aku turun dari pesawat,
mengurus imigrasi, dengan sabar menunggu bagasiku muncul di ban berjalan,
setelah itu langsung keluar dari bandara tanpa melihat kiri-kanan.
“Tapi hari itu berbeda. Ketika aku akan keluar dari
bandara, aku melewati sebuah kafe dan mencium aroma kopi yang enak. Untuk
pertama kalinya aku tergoda untuk duduk dan menikmati secangkir kopi panas. Aku
tidak tahu apa yang menarikku, tetapi aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku
hanya lelah setelah berjam-jam duduk di pesawat yang sempit.
“Kafe itu memberi kesan nyaman, dengan beberapa meja
kecil dan kursi empuk. Aku memesan café crème1 dan ketika menunggu pesananku
itulah sesuatu terjadi.
“Aku baru mengeluarkan Blackberry-ku dan mulai
memeriksa jadwal kerja selama di Paris ketika seseorang menyenggol koperku yang
kuletakkan di lantai, di samping meja.
“‟Maaf.‟
1 Espresso dengan krim
“Aku mendongak dan melihat seorang gadismuda sedang
memperbaiki posisi koper berodanya yang menyenggol koperku. Ia tersenyum
sekilas untuk meminta maaf. Sebelum aku sempat membalas senyumnya atau
menyahut, ia sudah berbalik dan berjalan menjauhi mejaku sambil menarik
kopernya. Kuperhatikan ia berjalan ke meja di dekat jendela kaca besar yang
menghadap ke luar bandara. Dalam perjalanan singkat ke meja itu, kopernya
menyenggol dua kursi dan nyaris melindas kaki salah seorang pelayan. Entah
tidak menyadari atau tidak mau ambil pusing, gadis itu tetap berjalan seakan
tidak ada yang terjadi.
“Ia duduk dan menyilangkan kaki. Posisinya sedikit
membelakangiku. Tanpa melirik menu yang ada di meja, ia memanggil pelayan dan
memesan sesuatu. Aku terlalu jauh untuk mendengar apa yang dikatakannya.
Setelah itu ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan memandang ke luar
jendela.
“Gadis itu... posisi duduknya... kaca jendela
besar... sinar matahari menyinarinya.... Aku terpesona melihat kombinasi semua
itu. Dengan sinar matahari dari luar, sosok gadis itu menjadi agak kabur,
gelap, dan memberikan kesan misterius. Aku bisa saja terus memandangi gadis itu
kalau saja aku tidak menyadari bahwa aku sudah punya janji bertemu seseorang
hari itu.
“Kupikir aku tidak akan bertemu gadis itu lagi, tapi
aku mulai menyadari bahwa hidup penuh kejutan.
“Aku bertemu lagi dengannya. Malam itu juga. Seperti
yang kukatakan tadi, aku punya janji bertemu seorang teman di sebuah kelab dan
aku datang terlalu cepat. Aku mengambil tempat duduk di bar yang agak ramai dan
memesan minuman sambil menunggu.
“Kemudian seseorang menghampiri bar dan berseru,
„Hugo! Aku minta tequila sunrise satu lagi!‟
“Aku menoleh ke arah suara lantang dan jernih itu
dan agak terkejut mendapati gadis cantik yang berdiri di sebelahku adalah gadis
yang sama yang kutemui di bandara tadi sore. Ia bahkan masih memakai pakaian
yang sama: turtleneck lengan panjang berwarna biru turkois dan celana panjang
krem. Ia tidak mengenakan jaket.
“‟Hugo!‟ seru gadis itu lagi sambil mengangkat gelas
kosong yang dipegangnya untuk menarik perhatian si bartender.
“Bartender berkepala botak yang dipanggil Hugo itu
datang menghampiri.
“‟Hugo, tequila sunrise satu lagi,‟ ulang gadis itu
sambil menggoyang-goyangkan gelasnya. Ia menyunggingkan senyum manis, seakan
berusaha membujuk si bartender mengabulkan permintaannya.
“Kelihatannya si bartender dan gadis itu sudah
saling mengenal dengan baik karena Hugo mengangkat sebelah alisnya dan
menatapnya dengan tatapan curiga, lalu bertanya dengan nada menantang, „Kau
datang sendirian?‟
“Si gadis mengangguk tegas, lalu mengangkat dagu.
„Memangnya kenapa?‟ balasnya dengan nada menantang yang sama.
“‟Menurutku kau sudah minum terlalu banyak,‟ kata
Hugo pelan, mengalah sedikit. „Aku bisa dipecat kalau kau sampai mabuk di
sini.‟
“Gadis itu menatap Hugo dengan mata disipitkan, lalu
tersenyum lebar. „Aku belum mabuk, Teman,‟ bantahnya. Mendadak ia menoleh ke
arahku dan berkata, „Monsieur, tolong katakan padanya kalau aku belum mabuk.‟
“Aku mengamati gadis itu. Menurutku ia memang
sedikit mabuk, tapi ia masih bisa berdiri tegak, ucapannya masih jelas, dan
pandangannya masih terfokus.
“Aku berdeham dan berkata pada Hugo, „Sepertinya dia
belum terlalu mabuk.‟
“Hugo menopangkan kedua tangan di meja bar dan
menggeleng-geleng. „Kalau dia sudah memanggilku Hugo, artinya dia sudah harus
pulang,‟ katanya tegas.
“Aku memandang Hugo tidak mengerti.
“Hugo menarik napas, lalu berkata dengan nada datar,
„Namaku bukan Hugo.‟
“Aku memanggilmu Hugo karena namamu sangat susah
diucapkan,‟ gadis itu membela diri dan tertawa kecil. „Tidak berarti aku
mabuk.‟
“Karena hari ini kau datang sendirian, sebaiknya kau
jangan mabuk-mabukan,‟ kata Hugo lagi. „Tidak ada yang bisa mengantarmu pulang
kalau kau mabuk.‟
“Gadis itu mengibas-ngibaskan tangannya. „Kau
benar-benar menyebalkan, Hugo,‟ gerutunya, lalu mengangguk. „Tapi kau benar.
Minum sendirian memang tidak menyenangkan. Aku pulang saja.‟
“‟Mau kupanggilkan taksi?‟ aku menawarkan. Biasanya
aku bukan orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Entah apa yang
merasukiku waktu itu.
“Dia menatapku. Dari raut wajahnya aku hampir yakin
gadis itu akan mengucapkan kata-kata seperti „Aku memang sedikit mabuk, tapi aku
tidak tolol, Bung. Mana mungkin aku membiarkan diriku ditipu pria asing yang
kutemui di bar? Memanggilkan taksi? Yang benar saja!‟
“Namun imajinasiku terlalu berlebihan, karena pada
kenyataannya gadis itu hanya tersenyum, menggeleng pelan, dan berkata, „Terima
kasih, tapi tidak perlu. Aku bisa sendiri.‟
“Aku memandangi punggung gadis itu sampai ia
menghilang di balik kerumunan orang. Aku ingin bertanya pada Hugo tentang gadis
itu, tapi tidak jadi. Kalau Hugo memang kenal baik dengan gadis itu, ia pasti akan
curiga kalau aku bertanya macam-macam. Tapi harus kuakui, ada sesuatu dari
gadis itu yang membuatku tertarik.”
Ceritanya berhenti sampai di situ. Tara mendengar
Élise menghela napas dan berkata dengan nada menyesal, “Monsieur Fujitatsu,
Anda membuat kami semua penasaran sekali. Anda tertarik pada gadis itu, bukan?
Apakah Anda sedang mencarinya? Apakah Anda bertemu dengannya lagi? Mungkinkah
itu cinta pada pandangan pertama?
“Ngomong-ngomong soal cinta pada padnangan pertama,
akan saya putarkan satu lagu untuk Anda semua, terutama kepada Anda, Monsieur
Fujitatsu. Para pendengar, walaupun tidak semua orang percaya pada cinta pada
pandangan pertama, kuharap Anda semua menikmati lagu ini.
“Oh ya, Monsieur Fujitatsu, tolong kabari kami lagi
kalau ada perkembangan menarik.”
Tara tersenyum sendiri. Monsieur Fujitatsu itu
sepertinya tipe pria romantis. Tara baru akan berdiri dan membereskan cat
kukunya ketika gerakannya terhenti.
Fujitatsu?
Tara mengerjap-ngerjapkan mata.
Fujitatsu... Fuji-Tatsu... Fujisawa Tatsuya...?
Tatsuya Fujisawa?!
Tara mengerutkan kening dan berpikir. Mungkinkah?
Mungkin saja. Sebastien pernah menyebut-nyebut soal tatsuya yang terpesona
dengan gadis Prancis. Jangan-jangan laki-laki itu menuruti saran Sebastien dan
mengirimkan ceritanya ke acara Élise.
Sebenarnya Tara masih sangat penasaran dengan
laki-laki bernama Tatsuya Fujisawa itu. Sampai sekarang ia belum berhasil
menemukan jawaban atas rasa penasarannya yang dulu. Ia baru bermaksud melupakan
masalah itu sebelum ia sendiri menjadi gila karena memikirkannya terus-menerus,
namun kini bertambah satu hal lagi yang membuatnya penasaran.
Tara ingin memastikan. Oh ya, ia punya janji makan
siang dengan Sebastien hari ini. Ia bisa bertanya pada Sebastien. Tara
mengangguk-angguk dan berdiri dengan susah payah karena kakinya mulai
kesemutan.
Tiba-tiba ia mendengar bunyi ponsel. Ia berjalan
tertatih-tatih ke kamar tidurnya dan mengambil ponsel yang tergeletak di tempat
tidur. Ia menatap layar ponsel dan tersenyum.
“Allô, Sebastien,” katanya begitu ia menempelkan
ponsel ke telinga. Ia mengempaskan dirinya ke tempat tidur dan memijat-mijat
kakinya. “Aku baru saja berpikir akan meneleponmu.”
“Tara, maaf,” sela Sebastien di ujung sana. “Hari
ini aku tidak bisa makan siang denganmu.”
Senyum Tara memudar dan ia mendesis kesal.
“Ada apa?” tanya Sebastien polos.
“Tidak apa-apa. Kakiku kesemutan,” sahut Tara ketus.
“Kenapa tidak bisa makan siang? Kau ada kencan dengan gadis yang baru kaukenal
lima belas menit yang lalu?”
Sebastien terkekeh. “Tidak, ya, dan tidak,” jawabnya
asal-asalan.
“Apa?”
“Tidak, itu bukan kencan. Ya, aku akan menemui
seorang wanita. Tidak, dia bukan orang yang baru kutemui lima belas menit yang
lalu,” jelas Sebastien dengan nada bercanda.
Tara mendesah kesal. “Sebastien...”
“Baiklah,” potong Sebastien. “Aku harus pergi ke
Nice untuk menemui kepala proyek kami. Ada masalah yang harus segera ditangani.
Ngomong-ngomong, kepala proyek kami itu wanita dan aku sudah mengenalnya sejak
tiga tahun lalu.”
“Kapan kau kembali?”
“Mmm... belum pasti. Mungkin besok, mungkin lusa.
Tergantung masalah yang harus diselesaikan. Aku akan meneleponmu begitu aku
kembali. Oke?”
“Oke,” sahut Tara, tidak ada pilihan lain. Tiba-tiba
ia teringat, “Oh ya, Sebastien.”
“Hm?”
“Temanmu yang dari Jepang itu—Tatsuya Fujisawa—yang
kaukenalkan padaku sekitar dua minggu yang lalu...”
“Mm, kenapa?”
“Kau pernah mengusulkan mengirimkan ceritanya ke
acara stasiun radio kami. Kau ingat?”
Sebastien terdiam sejenak, berpikir. “Oh, benar. Aku
ingat. Lalu?”
“Apa kau tahu dia sudah mengirimkannya atau belum?
Atau kau sudah tahu cerita lengkapnya?”
“Tidak, aku tidak tahu. Dia tidak mau
menceritakannya padaku. Katanya aku pasti akan menertawakannya.”
Tara tertawa kecil. “Kau memang senang menertawakan
orang.”
“Kenapa tiba-tiba bertanya tentang dia?”
“Aku sedang mendengarkan siaran Élise tadi dan dia
membacakan surat yang menarik. Aku hanya ingin memastikan itu cerita temanmu
atau bukan. Aku benar-benar penasaran. Bisa kautanyakan kepadanya?”
“Aku tidak keberatan bertanya padanya. Hanya saja
orangnya sedang tidak ada di sini. Dia sudah pulang ke Tokyo.”
“Oh? Kapan?”
“Mmm... sehari setelah kita bertemu dengannya,”
sahut Sebastien. “Kita bertemu hari Jumat, bukan? Besoknya dia langsung pulang
ke Tokyo.”
“Oh?”
“Tapi dia akan kembali. Dia pulang ke Tokyo untuk
membereskan semua pekerjaannya sebelum memfokuskan perhatiannya untuk proyek
kami ini. Dengar-dengar dia akan kembali sebentar lagi. Dalam minggu-minggu
ini, kurasa,” Sebastien menjelaskan, lalu melanjutkan dengan nada bergurau,
“kau tenang saja. Akan kutanyakan padanya begitu dia kembali ke sini. Aku tahu
kau tidak boleh dibiarkan penasaran. Kalau tidak, orang-orang di sekitarmu bisa
terluka.”
Tara tersenyum. “Telepon aku kalau kau sudah kembali
dari Nice. Semoga tidak ada masalah gawat di sana.”
Tara mematikan ponsel dan menghela napas. Sejak
aktif seratus persen di perusahaan ayahnya, Sebastien terlalu sibuk.
Kadang-kadang Tara merindukan masa lalu, saat Sebastien masih mahasiswa
arsitektur yang punya banyak waktu luang. Walaupun selalu dikelilingi
gadis-gadis dan gonta-ganti pacar, Sebastien juga selalu menyediakan waktu
untuk Tara, selalu ada kalau Tara membutuhkannya, selalu siap menemani dan
menghiburnya. Tara tahu benar sikap Sebastien terhadapnya sama dengan terhadap
gadis-gadis lain, tapi hal itu tidak mencegahnya menyukai laki-laki itu.
Tara berpikir-pikir. Ia sedang tidak ingin makan
siang sendiri hari ini, tapi Sebastien tidak bisa menemaninya. Siapa lagi ya?
“Ah, benar juga. Papa!” serunya pelan. Ia memencet
nomor telepon ayahnya dan menempelkan ponsel ke telinga.
“Allô, Papa?” katanya begitu hubungan tersambung.
“Ada waktu sekarang?... Bisa makan siang bersama?... Kenapa?... Papa sedang
bersama siapa? Dengan wanita yang mana? Masih sama dengan yang minggu lalu atau
sudah yang baru?... Astaga! Papa, berhentilah bermain-main... Tidak, tidak
usah. Mm... Sampai ketemu makan malam nanti. Daah.”
Tara memutuskan hubungan dan mendecakkan lidah.
Kenapa ia dikelilingi pria mata keranjang? Papa sama saja dengan Sebastien.
Itulah salah satu sebab Mama bercerai dari Papa. Tara akui, ayahnya memang
bukan suami yang baik, tapi ia ayah yang baik. Ayah paling baik sedunia. Tara
juga yakin, di antara semua wanita yang ada di bumi, dirinyalah yang paling
berharga bagi ayahnya.
Tara mendecakkan lidah sekali lagi. “Masa aku harus
makan sendiri?” tanyanya pada diri sendiri. Ia memberengut, lalu mendesah
berlebihan, dan menggerutu, “Apa boleh buat?”
*
* *
Karena satu jam lagi ia harus siaran, Tara memilih
makan siang di brasserie2 yang paling dekat ke stasiun radio, sehingga ia tidak
perlu buru-buru mengejar waktu siaran. Ia memilih meja kosong di pojok dan
memandang berkeliling mencari pelayan. Ia mengangkat sebelah tangan ke arah
pelayan yang sedang berjalan ke meja dekat pintu. Ternyata si pelayan sedang
mengantarkan pesanan laki-laki berambut hitam yang menempati meja di sana. Tara
mengerjapkan mata. Sepertinya ia pernah melihat orang itu.
Karena sibuk mengamati si laki-laki berambut hitam,
Tara tidak menyadari pelayan lain menghampiri mejanya dan menanyakan pesanan.
Tiba-tiba Tara ingat. Tatsuya Fujisawa! Laki-laki
itu Tatsuya Fujisawa! Ia melompat berdiri dan nyaris menabrak pelayan yang
berdiri di dekatnya.
“Maaf,” kata Tara buru-buru setelah si pelayan
mundur selangkah karena terkejut. “Saya ingin menyapa teman saya dulu di sana.”
Pelayan itu mengangguk acuh tak acuh dan pergi. Tara
segera menghampiri meja Tatsuya.
“Permisi,” katanya agak ragu.
Laki-laki itu mengangkat wajah dan menatapnya dengan
bingung. “Ya?”
2 mirip kafe, menyediakan makanan sederhana dan
cepat saji.
Senjata utama untuk menghadapi orang-orang adalah
senyum yang manis dan sopan. Karena itulah Tara memasang “kuda-kuda”-nya dengan
menyunggingkan senyum ramah. “Tatsuya Fujisawa, bukan?” tanyanya.
“Benar, saya sendiri,” jawab Tatsuya. Raut wajahnya
masih tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
“Masih ingat padaku?” tanya Tara hati-hati, takut
laki-laki itu tidak mengenalinya. Kalau itu sampai terjadi ia berharap ia punya
rencana cadangan. “Aku Tara Dupont, teman Sebastien Giraudeau. Kita pernah
bertemu sekitar dua minggu yang lalu.”
Tatsuya masih terlihat bingung sesaat, lalu wajahnya
berubah cerah. “Oh, benar, Tara,” katanya sambil tersenyum lebar. “Apa kabar?”
Tara lega laki-laki itu masih mengingatnya. Ia
menjabat tangan Tatsuya yang terulur. Kali ini ia menyadari jabatan tangan
Tatsuya tegas, sama seperti Sebastien. Tara suka itu. Ia juga baru menyadari
laki-laki itu punya lesung pipi yang membuat senyumannya terlihat hangat dan
bersahabat.
“Makan siang sendirian? Atau sedang menunggu seseorang?”
tanya Tara setelah menarik kembali tangannya.
Tatsuya menggeleng. “Tidak, aku memang sendirian.
Bagaimana denganmu?”
Tara menyunggingkan senyum termanisnya. “Aku juga
sendirian.”
“Kalau begitu, silakan bergabung saja denganku,”
Tatsuya menawarkan sambil menunjuk kursi di hadapannya.
“Terima kasih,” sahut Tara dan menerima ajakannya
dengan senang hati karena itulah yang ia harapkan. Ia sedang benar-benar tidak
ingin makan sendirian. “Aku baru saja datang ketika melihatmu. Jadi kuputuskan
untuk menyapamu karena sewaktu pertama kali bertemu kita belum sempat bicara
banyak.”
“Tidak apa-apa,” kata Tatsuya. Ia mengangkat sebelah
tangan untuk memanggil pelayan.
Seorang pelayan datang menghampiri meja mereka. Tara
menyebutkan pesanannya dan pelayan itu pun berlalu.
“Kata Sebastien kau sudah pulang ke Tokyo,” kata
Tara sambil merapikan rambut pendeknya dengan sebelah tangan. Gerakan yang
sudah menjadi kebiasaannya bila berhadapan dengan laki-laki yang menarik
baginya.
Tatsuya mengangguk. “Memang benar, tapi kemarin aku
kembali lagi ke sini. Aku pulang ke Tokyo hanya untuk mengurus pekerjaanku yang
tertinggal,” jelasnya.
“Ngomong-ngomong, ada yang ingin kutanyakan,” kata
Tara ketika teringat surat yang dibacakan Élise saat siaran tadi. “Apakah kau
menulis surat ke stasiun radio kami?”
Tatsuya mengangkat alisnya. “Kalian sudah
menerimanya?”
Tara tertawa. “Sudah kuduga! Fujitatsu itu kau?”
Tatsuya tersenyum malu dan berkata, “Aku tidak
pandai bercerita, tapi Sebastien berhasil membujukku. Cerita yang konyol, bukan?”
Tara cepat-cepat menggeleng. “Tidak, ceritamu bagus.
Temanku malah sudah membacakan-nya saat siaran hari ini. Aku penasaran sekali
karena nama Fujitatsu kedengarannya tidak asing.”
“Kalau tidak salah, kau sendiri juga penyiar,
bukan?”
“Benar,” sahut Tara ringan.
“Kau menikmati pekerjaanmu?”
Tara mengangguk tegas, lalu tersenyum. “Kata
Sebastien, menjadi penyiar radio memang cocok untukku karena aku ini cerewet
sekali.”
“Sepertinya Sebastien memang benar,” ujar Tatsuya.
“Lalu bagaimana?”
“Bagaimana apa?”
Saat itu pelayan datang mengantarkan pesanan Tara.
Tara mengucapkan terima kasih dan setelah pelayan itu pergi, ia kembali menatap
laki-laki di hadapannya. “Kau ingin mencari gadis itu?” tanya Tara langsung.
Tatsuya tertawa. “Tidak.”
“Tidak?” Tara mengerutkan kening. Itu bukan jawaban
yang diharapkannya.
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Kenapa harus?”
“Lalu apa rencanamu?”
“Tidak ada rencana apa-apa.”
“Aneh.”
“Tidak aneh.”
Tara menatap Tatsuya dengan mata disipitkan. Tatsuya
balas menatapnya sambil tersenyum. Laki-laki itu punya senyum yang menular.
Begitu melihat senyumnya, Tara tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
“Biarkan aku bertanya satu hal,” kata Tara sambil
mengangkat jari telunjuknya.
“Rupanya kau penasaran sekali dengan ceritaku,” kata
Tatsuya sambil menunduk dan menyantap makanannya.
“Aku memang mudah penasaran. Itu salah satu
kelemahanku,” ujar Tara riang, seakan ia sendiri tidak menganggap hal itu suatu
kelemahan. “Kata Sebastien aku bisa berbahaya bagi umum kalau aku sedang
penasaran.”
“Aku yakin Sebastien benar.”
“Asal kau tahu saja, kau benar-benar membuatku
penasaran. Maka dari itu, jawab saja pertanyaanku. Setelah itu aku tidak akan
bertanya-tanya lagi,” Tara berjanji dan memasang wajah bersungguh-sungguh,
walaupun ia sendiri tahu ia takkan bisa berhenti bertanya.
Tatsuya menatapnya sejenak, lalu menyerah. “Baiklah.
Tanya saja.”
Tara menumpukan kedua siku di meja dan mencondongkan
tubuh ke depan. “Kau ingin bertemu gadis itu lagi?”
Tatsuya mengangkat alisnya, berpikir-pikir, lalu
menunduk dan kembali menyantap makanannya. “Tentu saja.”
“Tapi kau tidak mau mencarinya?” desak Tara.
Tatsuya tersenyum. “Tadi kau bilang hanya akan
menanyakan satu pertanyaan.”
Tara mengembuskan napas dengan keras. Baiklah,
sepertinya ia sungguh-sungguh harus menekan rasa penasarannya. Sebagai gantinya
mereka mengobrol tentang hal lain sepanjang makan siang dan Tara merasa Tatsuya
Fujisawa adalah teman mengobrol yang menyenangkan. Mengobrol dengannya serasa
mengobrol dengan teman lama. Mereka tidak pernah kehabisan bahan obrolan.
Meskipun begitu, tetap saja Tara tidak bisa menghilangkan perasaan mengganggu
bahwa ada sesuatu pada Tatsuya yang membuatnya bingung.
“Ada rencana khusus akhir pekan ini?” tanya Tara
setelah mereka membayar makanan dan keluar dari brasserie. Tara ngotot membayar
makanannya sendiri sementara Tatsuya bersikeras mentraktirnya. Setelah melalui
adu mulut yang cukup seru, Tatsuya mengalah.
“Aku berencana akan berkeliling kota. Aku sudah
berkali-kali datang ke Paris, tapi sama sekali belum sempat melihat-lihat,”
jelas Tatsuya, lalu ia menoleh ke arah Tara. “Kau mau menjadi pemanduku?”
Tara tersenyum. “Tidak masalah.” Ia sama sekali
tidak keberatan menemani Tatsuya. Ia merasa nyaman dan senang bersama laki-laki
itu. Ditambah lagi, Tara sangat penasaran dengan Tatsuya. Ia ingin tahu lebih
banyak, ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengganggunya
sejak mereka bertemu pertama kali.
“Kalau begitu, besok jam sepuluh pagi kita bertemu
di sini,” kata Tatsuya.
“Oke,” jawab Tara tanpa berpikir.
“Oh, ajak Sebastien juga,” tambah Tatsuya.
“Tapi Sebastien sedang ada di Nice. Aku tidak tahu
kapan dia akan pulang,” sahut Tara.
Tatsuya berpikir-pikir, lalu mengangkat bahu. “Ya
sudah. Tidak apa-apa. Jadi, sampai ketemu besok jam sepuluh.”
“Oke.”
Tatsuya melambai dan berjalan pergi. Tara menatap
kepergiannya sesaat, lalu mengerjap-ngerjapkan mata.
“Tadi dia bilang jam berapa?” gumamnya pada diri
sendiri, lalu terbelalak. “Jam sepuluh? Pagi? Besok? Besok itu hari apa?
Minggu? Benar, Minggu. Astaga! Kenapa aku setuju bertemu jam sepuluh pagi? Ah,
kacau!”
Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mengerang
kesal, mengentakkan kaki, lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar