Tiga
BUNYI apa itu?
Tara mengerang pelan dan menarik selimut menutupi
kepala, tapi samar-samar masih terdengar bunyi berisik seperti sirene yang
meraung-raung. Awalnya ia memilih mengabaikan bunyi itu, tetapi lama-kelamaan
ia merasa terganggu juga. Dengan mata yang masih terpejam ia mengulurkan tangan
ke meja kecil di samping tempat tidur dan mulai meraba-raba. Pertama-tama ia
meraih ponselnya.
“Ahhh... lo?” gumamnya dengan kening berkerut dan
mata tetap terpejam.
Bunyi itu masih terdengar. Oh, ia lupa....
“Allô?” gumamnya sekali lagi setelah menekan tombol
“Jawab”.
Bunyi itu masih tetap terdengar. Tara mendecakkan
lidah dan menjatuhkan ponselnya ke lantai. Setelah itu ia mengulurkan tangan
sekali lagi dan meraba-raba. Tangannya menemukan sebuah beker kecil. Ternyata
benda itu yang berbunyi nyaring dan bergetar dengan hebatnya sampai hampir
meloncat dari genggamannya. Ia mematikan alarm beker dan damailah dunia. Karena
malas mengembalikan beker ke meja, ia melemparkan benda itu ke lantai. Semua
itu dilakukannya tanpa sekali pun membuka mata. Sekarang ia kembali meringkuk
dengan nyaman di balik selimut.
*
* *
Bunyi apa lagi itu?
Tara meraih bantal dan menutup kepalanya, berharap
bunyi itu segera berhenti. Tapi ternyata bunyi itu sanggup menembus bantal dan
sampai di telinganya. Ia melempar bantal ke samping, menendang selimut dan
mengerang kesal.
Demi Tuhan! Hari ini hari Minggu! Kenapa tidak ada
kedamaian sedikit pun?
Ia mendecakkan lidah dan menjulurkan tangan ke meja
di samping tempat tidur. Ia meraba-raba, tetapi tidak ada apa-apa di sana.
Walaupun masih setengah sadar, ia teringat barang-barang yang tadinya ada di
meja kini tergeletak di lantai. Ia bersusah payah membuka mata yang seakan
direkat dengan lem superkuat dan mencondongkan tubuh ke tepi tempat tidur,
berusaha meraih ponselnya yang berbunyi nyaring. Ia masih tidak sudi bangun dari
tempat tidur, karenanya ia agak kesulitan menggapai ponselnya. Akhirnya setelah
memanjang-manjangkan badan dan tangan, ia berhasil menggapai benda berisik itu.
Masih dengan posisi setengah tergantung di ujung
tempat tidur, Tara menempelkan ponsel ke telinga. “Ahhhlo?” katanya dengan
suara serak.
“Ma chérie, kau masih tidur?” Suara ayahnya yang
secerah matahari terdengar di ujung sana.
“Papa?” tanya Tara sambil mengerutkan kening.
“Kenapa Papa telepon pagi buta begini? Papa kan tahu kalau aku—Wuaaa!”
“Apa itu? Kau jatuh, ma chérie?” tanya ayahnya
kaget.
Tara cepat-cepat meraih ponselnya yang terlepas dari
tangannya ketika ia jatuh dari tempat tidur. “Tidak. Aku tidak apa-apa,”
katanya pendek, lalu berdeham. Kantuknya langsung hilang begitu kepalanya
membentur karpet di lantai. Ia duduk bersila di lantai dan bertanya sekali
lagi, “Kenapa Papa menelepon pagi buta begini?”
“Oh, sebenarnya Papa tahu kebiasaan burukmu yang
tidak mau bangun dari tempat tidur sebelum jam dua belas siang di hari Minggu,
tapi Papa butuh bantuanmu,” jelas ayahnya dengan nada resmi, seakan hendak
mengatakan kalau Tara akan melakukan tugas mulia bagi negara. “Mobil Papa
rusak, sedangkan Papa ada janji penting jam setengah sebelas nanti. Antarkan
Papa, ya?”
Tara tersentak dan mengerjap-ngerjapkan mata. Jam
10.30? Bukankah ia sendiri punya janji dengan Tatsuya jam 10.00? Sekarang jam
berapa?
Tara mencari-cari beker yang tadi dilemparnya ke
lantai. Ke mana jam itu sekarang? “Papa! Sekarang jam berapa?” serunya.
“Tidak perlu teriak-teriak. Papa belum tuli,” gerutu
ayahnya. “Sekarang jam... setengah sepuluh.”
“Astaga! Aku terlambat!” Tara meloncat berdiri dan
berlari ke lemari pakaiannya.
“Allô?” Ayahnya agak heran mendengar bunyi gaduh
ketika Tara tersandung karpet dan nyaris jatuh untuk kedua kalinya.
“Papa, aku juga punya janji jam sepuluh,” potong
Tara cepat sambil mengobrak-abrik isi lemari. “Papa naik Métro saja, ya?”
Sebenarnya ia tahu ayahnya tidak pernah suka naik
Métro, bus, kereta api, atau transportasi umum apa pun, kecuali pesawat terbang.
Kata ayahnya, ia tidak suka berdesak-desakan dengan orang lain.
“Kau mau ke mana?” ayahnya balas bertanya.
Tara memberitahu ayahnya.
“Tidak masalah. Papa memang mau ke daerah di dekat
situ,” kata ayahnya setelah berpikir sejenak. “Jemput Papa di rumah, ya? Oh ya,
ma chérie, jangan pernah menyarankan agar Papa naik Métro lagi.”
*
* *
Tatsuya melirik jam tangannya, lalu memandang ke
luar jendela, memerhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Ia menempati meja
di samping jendela sehingga bisa melihat jalanan di luar sana dengan jelas.
Gadis itu sudah terlambat tujuh belas menit. Sayang
sekali ia tidak meminta nomor telepon Tara kemarin. Kalau tidak, ia bisa
menelepon gadis itu dan bertanya apakah ia akan datang. Mungkin saja gadis itu
tiba-tiba berhalangan karena ada urusan penting tetapi tidak bisa
menghubunginya. Kalau memang begitu, berarti sia-sia ia menunggu selama ini.
Baiklah, ia akan menunggu sebentar lagi. Kalau
sampai jam 10.30 Tara Dupont belum datang, ia akan membatalkan semua rencana
ini.
Mengherankan sekali. Sebelum ini Tatsuya sama sekali
tidak berniat mengenal kota Paris lebih jauh. Ia cukup sering datang ke Paris
untuk urusan kerja, tapi biasanya ia akan sibuk sepanjang hari dan tidak punya
waktu luang untuk melihat-lihat. Apalagi sejak kematian ibunya dan ia jadi tahu
rahasia itu.
Baginya Paris seperti mimpi buruk. Ia benci Paris,
namun ia juga tahu mimpi buruk itu harus dihadapi cepat atau lambat. Sudah
cukup lama ia melarikan diri. Sekarang waktunya ia memberanikan diri dan
menghadapi kenyataan. Dan ia bisa mulai dengan berkenalan dengan kota Paris.
Tatsuya menyesap kopinya dan kembali membaca buku
panduan kota Paris yang baru dibelinya. Sesekali ia memandang ke luar jendela
sambil melamun. Tiba-tiba matanya terpaku pada orang berjaket hitam yang
berjalan lewat tepat di depan jendela brasserie. Ia terkesiap dan sekujur
tubuhnya langsung menegang. Ia hampir tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
Orang itu! Dia... Tidak salah lagi....
Orang itu berhenti di pinggir jalan di antara
sekelompok pejalan kaki, membelakangi Tatsuya. Ia sedang menunggu lampu lalu
lintas berubah warna sehingga bisa menyeberang jalan. Tak lama kemudian lampu
tanda boleh menyeberang menyala. Orang itu pun menyeberang tanpa tergesa-gesa.
Pandangan Tatsuya tak pernah lepas dari orang itu
sampai sosoknya hilang ditelan kerumunan orang dis eberang jalan. Setelah orang
itu lenyap dari pandangan, Tatsuya baru menyadari sejak tadi ia menahan napas.
Tangannya terkepal di atas meja. Jantungnya berdebar kencang. Selama ini ia terus
mencari orang itu dan akhirnya hari ini ia melihatnya. Seharusnya tadi ia
langsung mengejar orang itu dan...
Dan apa? Memangnya apa yang akan dilakukannya kalau
berhasil mengejarnya? Memangnya apa yang bisa ia katakan pada orang itu? Ia
tidak tahu. Belum tahu.
“Maaf, aku terlambat.”
Tatsuya mengangkat wajah dan melihat Tara berdiri di
samping meja dengan wajah memerah dan napas terengah-engah. Ikal-ikal pendek
rambutnya agak berantakan akibat angin, namun sama sekali tidak mengacaukan
penampilannya.
“Sudah lama?” tanya gadis itu lagi sambil tersenyum
lebar. Ia cepat-cepat merapikan rambutnya dan menjatuhkan diri di kursi di
depan Tatsuya.
Tatsuya memaksakan seulas senyum. Kejadian tadi
membuatnya agak terguncang dan ia masih belum pulih.
“Lumayan lama,” sahutnya, berusaha keras bersikap
tenang.
“Maafkan aku,” kata gadis itu sekali lagi. Raut
wajahnya sungguh-sungguh. “Sebenarnya aku sudah memasang beker, tapi ternyata
tidak berguna. Akhirnya aku bangun kesiangan dan harus pergi menjemput ayahku
dulu karena mobilnya rusak, lalu...”
Tara terus berbicara, tapi Tatsuya nyaris tidak
mendengarkan apa yang dikatakannya karena bayangan orang tadi masih memenuhi
otaknya.
Orang itulah yang membuat Paris menjadi kota yang
begitu menyakitkan baginya. Orang itulah penyebab utamanya membenci Paris.
Tidak bisa, ia tidak bisa begitu terus. Melihat
orang itu saja sudah membuatnya kebingungan. Bagaimana kalau nantinya ia harus
berhadapan langsung dengan orang itu dan bicara dengannya?
“Tatsuya?”
Tatsuya menoleh ke arah Tara. Gadis itu sedang
mengamatinya dengan tatapan heran.
“Kau sakit? Wajahmu kelihatan pucat,” kata Tara
prihatin.
“Aku tidak apa-apa,” sahut Tatsuya, lalu beranjak
dari kursi. “Aku ke belakang sebentar.”
“Oh, oke,” gumam Tara, masih agak bingung. Bagaimana
tidak bingung kalau dari tadi ia terus berceloteh tetapi tidak ditanggapi?
Di toilet, Tatsuya segera menghampiri wastafel dan
membasuh wajahnya.
Kendalikan dirimu, katanya pada bayangan di cermin.
Ia menundukkan kepala dengan kedua tangan bertumpu pada pinggiran wastafel. Ia
menarik napas dan mengembuskannya dengan perlahan. Kendalikan dirimu.
Setelah debar jantungnya kembali normal, ia
mengangkat wajah dan menatap bayangannya sekali lagi. Ia mengangguk samar, lalu
meraih serbet untuk mengeringkan wajah.
Ia keluar dari toilet dan berjalan kembali ke
mejanya, namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Matanya terarah pada Tara yang
duduk menunggu di sana. Gadis itu tidak menyadari kedatangannya karena posisi
duduk yang sedikit miring dan memunggunginya. Gadis itu sedang duduk bersandar
dengan kaki disilangkan dan memandang ke luar jendela.
Gadis itu... posisi duduknya... kaca jendela
besar... sinar matahari menyinarinya...
Benar-benar aneh—tapi menyenangkan—melihat gadis ini
duduk di sana dan melihat ke luar jendela. Posisi duduknya sekarang
mengingatkan Tatsuya pada saat pertama kali ia bertemu dengan gadis itu di
bandara Charles de Gaulle. Gadis yang membuatnya merasa tertarik....
*
* *
Tara menoleh ketika merasakan kedatangan Tatsuya.
“Maaf, perutku sedang bermasalah,” kata laki-laki
itu sambil memegangi perut dengan sebelah tangan.
“Sekarang sudah baikan?” tanya Tara. Kalau Tatsuya
sakit perut, berarti mereka tidak jadi jalan-jalan, dan itu artinya sia-sia
saja ia bangun pagi.
Tatsuya mengangguk.
Tara menumpukan kedua siku di atas meja. “Jadi,
sekarang kita mau ke mana?”
Tatsuya berpikir sejenak. “Sudah lama aku ingin
melihat-lihat museum yang ada di sini. Museum apa yang menarik?”
“Museum?” Tara mengerjap-ngerjapkan mata. Sudah
berapa kali laki-laki ini memberikan jawaban yang sama sekali tidak diduganya?
Tatsuya Fujisawa benar-benar orang yang sulit ditebak.
Tara jarang sekali ke museum. Boleh dibilang hampir
tidak pernah. Selama ia tinggal di Jakarta juga ia tidak pernah menginjakkan
kakinya di Museum Nasional. Selama di Paris satu-satunya museum yang pernah
dikunjunginya cuma Louvre. Itu juga cuma satu kali dan itu karena paksaan
teman-temannya. Tapi ayahnya yang senang mengunjungi museum dan menikmati seni.
Ia berusaha mengingat-ingat, “Ada Louvre, Musée Rodin, Musée d‟Orsay... eh, dan
lain-lain. Mau ke mana dulu?”
Tatsuya membuka-buka buku panduannya, lalu berkata,
“Hari ini aku ingin mulai dengan Musée Rodin.”
“Tapi yang paling terkenal itu Louvre,” kata Tara.
Ia heran Tatsuya tidak memilih museum yang jelas-jelas merupakan pilihan nomor
satu bagi kebanyakan orang. “Kau yakin tidak mau memulai dari sana? Ada lukisan
Mona Lisa dan... eh, sebagainya.” Sebaiknya ia tidak bicara banyak kalau tidak
tahu apa-apa soal seni.
Tatsuya menutup buku
panduannya dan tersenyum lebar. “Aku punya banyak waktu. Kita punya banyak
waktu. Memang banyak tempat yang ingin kukunjungi dan hari ini aku ingin
melihat karya Rodin. Ayo.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar