Empat
GADIS itu kelihatan bosan.
Tatsuya melirik Tara yang sedang memandangi sebuah
patung karya Rodin tanpa ekspresi. Mereka sudah berada di museum itu selama
lebih dari dua jam dan walaupun jelas-jelas tidak tertarik pada seni patung,
gadis itu cukup sabar menemaninya. Tidak mengeluh sedikit pun. Tatsuya
memutuskan tidak memperpanjang penderitaan Tara dan mengajaknya makan siang di
kafe yang ada di taman museum. Makanan yang disajikan sederhana saja, tapi
suasananya menyenangkan.
“Bosan?” tanya Tatsuya sementara mereka menunggu
pesanan diantarkan.
Tara tersenyum dan melipat kedua lengannya di meja.
“Mm, sedikit,” jawabnya jujur, lalu mengangkat bahu. “Tapi aku sudah terbiasa.
Sebastien sering mengajakku kalau ada pameran arsitektur, sedangkan aku buta
soal arsitektur.”
Tatsuya tertawa kecil. “Kalau begitu, setelah makan
siang, kita ke tempat lain yang lebih menarik. Bagaimana? Ada saran?”
“Bagaimana kalau ke Jardin du Luxembourg?” tanya
Tara, lalu berpikir lagi. “Atau kau mau belanja? Kita bisa ke Boulevard
Saint-Germain atau rue de Grenelle. Tidak, laki-laki tidak suka berbelanja....
Ah, benar! Aku harus menunjukkan tempat kesukaanku! Sudah pernah melihat kota
Paris dari ketinggian?”
Tatsuya menggeleng. Ia baru menyadari ia senang
mendengar celotehan gadis itu. Ia suka mendengarkan suara Tara. Seolah memahami
perasaan Tatsuya, Tara terus berceloteh panjang-lebar.
“Sebastien dan aku suka sekali melihat pemandangan
kota Paris dari puncak Arc de Triomphe,” katanya dengan mata berbinar-binar.
“Benar-benar menakjubkan! Banyak orang lebih suka melihat kota Paris dari
puncak Eiffel, tapi menurutku pemandangan dari puncak Arc de Triomphe adalah
yang terbaik. Bisa membuatmu sulit bernapas.
“Aku paling suka berada di tempat yang tinggi,
karena aku akan merasa... mm, bagaimana mengatakannya, ya? Rasanya begitu jauh
dari peradaban. Kau mengerti maksudku? Rasanya seperti meninggalkan beban di
tanah dan kita melayang bebas. Aku dan Sebastien suka ke sana kalau sedang
stres. Aku jamin, setengah jam di sana perasaanmu langsung jauh lebih baik.”
“Kita akan ke sana malam nanti karena pemandangan
malam kota Paris lebih indah.” Tara terdiam sejenak untuk menarik napas, lalu
bertanya, “Kau sungguh-sungguh belum pernah melihat-lihat kota Paris?” Matanya
yang besar menatap Tatsuya dengan pandangan bertanya.
“Begitulah.” Tatsuya berusaha menahan senyum. Gadis
itu sanggup bercerita terus kalau memang diperlukan. Gadis yang menarik.
“Aneh... Sudah berapa kali kau datang ke Paris?”
tanya Tara.
Tatsuya mendongak dan berpikir-pikir. “Wah, aku
tidak ingat.”
Tara mengangkat bahu. “Aneh sekali kalau datang ke
Paris dan tidak berkeliling. Kau selalu datang untuk urusan kerja?”
Tatsuya ragu sejenak. “Tidak juga,” jawabnya pelan.
“Lalu kau datang untuk apa? Tidak mungkin untuk
berlibur karena kau bilang kau bahkan tidak berkeliling dan melihat-lihat
kota.”
Tatsuya menunduk dan bergumam, “Mencari seseorang.”
“Apa?” tanya Tara dan mencondongkan tubuh ke depan
karena tidak mendengar dengan jelas.
Tatsuya mengangkat wajah dan mengulangi, “Aku ke
sini untuk mencari seseorang.”
“Siapa?”
Pertanyaan yang wajar, tapi Tatsuya tidak ingin
menjawab. Ia masih belum yakin mau menceritakannya pada orang lain. Untung saja
saat itu makanan pesanan mereka datang sehingga Tatsuya tidak perlu langsung
menjawab.
“Kau mencari siapa?” tanya Tara sekali lagi setelah
pelayan pergi.
Gadis itu benar-benar tidak mau melepaskannya.
Jawaban apa yang bisa diberikan?
“Ceritanya panjang,” Tatsuya mengelak, tidak
langsung menjawab pertanyaan Tara tadi. “Lain kali saja kuceritakan.”
Gadis itu tidak mendesaknya lagi. Tara memang suka
berceloteh panjang lebar, tetapi ia tidak suka memaksa, meskipun sebenarnya dia
penasaran.
Setelah selesai makan, Tara membawanya berkeliling
kota, dengan penuh semangat menunjukkan tempat-tempat menarik, seperti pemandu
wisata berpengalaman. Tatsuya menyadari Tara gadis yang ekspresif. Ia tidak
hanya bercerita dengan kata-katanya, tapi juga dengan mata dan gerakan
tubuhnya.
Mungkin karena cuaca hari ini cerah, mungkin karena
angin juga tidak bertiup terlalu kencang, atau mungkin juga karena ia mendapat
teman seperjalanan yang menyenangkan, Tatsuya merasa santai hari itu. Gembira
dan santai. Sudah lama sekali ia tidak mengalami perasaan seperti ini. Kapan
terakhir kalinya ia merasa gembira? Pasti sebelum ibunya meninggal dunia. Dan
sudah pasti sebelum ia tahu rahasia itu.
Ia merasa lengannya disiku pelan. Ia menoleh dan
melihat Tara sedang menatapnya dengan alis berkerut.
“Apa yang sedang kaupikirkan?” tanya gadis itu
sambil tersenyum. Kerutan di dahinya menghilang.
“Tidak ada,” Tatsuya berbohong.
Tara mendengus pelan, masih tetap tersenyum.
“Bohong,” gumamnya dengan nada riang. “Kau tahu, Sebastien juga sering begitu.”
“Sering bagaimana?”
Tara mendongak. Senyumnya masih menghiasi bibirnya.
Sepertinya memikirkan Sebastien saja ia bisa tersenyum. “Aku selalu tahu kalau
Sebastien sedang banyak pikiran,” kataya. Tatsuya mendengar nada bangga dalam
suara gadis itu. “Alisnya akan berkerut dan dia lebih banyak diam. Kalau
ditanya apa yang sedang dipikirkannya, dia hanya akan menjawab „tidak apa-apa‟
dengan nada berat.” Tara menoleh mamandangnya dan senyumnya melebar. “Sama
seperti yang kaulakukan tadi.”
Tatsuya mengangkat alisnya dan ikut tersenyum. Gaids
itu punya senyum yang menular.
“Taman yang indah,” komentar Tatsuya mengalihkan
pembicaraan.
Mereka sedang berjalan-jalan di Jardin du
Luxembourg. Tatsuya memandang berkeliling. Banyak juga orang-orang yang
menikmati jalan-jalan sore di taman ini seperti mereka.
Tara menggumam dan mengangguk. “Aku dan Sebastien
suka ke sini. Kadang-kadang kalau kami berdua punya waktu senggang, kami akan
duduk-duduk dan mengobrol tanpa tujuan.”
Tatsuya memandang gadis itu dengan bimbang.
“Ah! Itu ada bangku kosong,” seru Tara tiba-tiba.
“Ayo, kita duduk di sana.”
Tatsuya membiarkan dirinya ditarik ke arah bangku
kosong tidak jauh dari sana. Tara menyandarkan tubuhnya, mendongak, memejamkan
mata, menghirup udara dalam-dalam, dan mengembuskannya.
“Hari yang indah sekali,” katanya pada dirinya
sendiri, lalu menyiku lengan Tatsuya pelan. “Lihat, daun-daun sudah mulai
berwarna cokelat. Bagus sekali, bukan?”
Tatsuya memandang gadis itu sambil tersenyum samar.
“Kami—Sebastien dan aku, maksudku—suka sekali musim
gugur,” desah Tara. Ia menoleh menatap Tatsuya. “Kau tahu bagian yang paling
menyenangkan?”
Tatsuya menggeleng, masih tetap memandangi gadis
itu.
“Aku paling suka merasakan angin musim gugur di
wajahku. Membuat ujung hidung dan kedua pipiku terasa dingin,” kata Tara sambil
tertawa. Ia menyentuh ujung hidung dan pipinya untuk menegaskan kata-katanya.
Tatsuya menimbang-nimbang sesaat, lalu berkata, “Ada
yang ingin kutanyakan.”
Gadis yang duduk di sampingnya itu menoleh. “Apa
itu?”
Tatsuya ragu sejenak, lalu memutuskan untuk
bertanya. “Apakah kau dan Sebastien...?”
Tara mengangkat alisnya, menunggunya melanjutkan.
“Kau tahu maksudku,” Tatsuya meneruskan dengan
enggan. “Apakah kau dan Sebastien... pacaran?”
Tara mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu tertawa
terbahak-bahak. “Oh, astaga! Tidak,” jawabnya ketika tawanya mereda. “Tidak,
kami tidak pacaran. Kenapa bertanya seperti itu?”
Tatsuya mengangkat bahu. “Kau selalu menyebut-nyebut
namanya. Sebastien juga sering membicarakan dirimu.”
Tara menatapnya lurus-lurus. Matanya berbinar-binar.
“Sebastien sering membicarakan aku?” tanyanya perlahan.
Tatsuya membalas tatapannya. Baiklah, seharusnya ia
tadi tidak mengatakan hal itu. Sekarang ia merasa tidak ingin menjawab, tapi...
“Ya.”
Tara tersenyum senang dan menunduk memandangi
kakinya. Saat itu juga Tatsuya tahu. Gadis itu menyukai Sebastien.
“Kau menyukainya?”
Kenapa mulutnya bergerak sendiri? Tatsuya menyesali
kata-kata yang terlontar dari mulutnya. Bagaimanapun itu bukan urusannya.
Tara berpikir sejenak. “Dia teman yang baik,”
jawabnya diplomatis. Ia menoleh menatap Tatsuya dan tersenyum lagi. Tiba-tiba
ia berkata, “Hei, aku baru sadar warna matau abu-abu. Sama seperti aku. Kau
lihat? Mataku juga abu-abu.”
Tatsuya menatap mata kelabu gadis yang duduk di
sampingnya itu dan tersenyum. Mata kelabu yang bersinar ramah, hangat, dan
ekspresif. Mata yang dengan mudah mencerminkan apa yang sedang dirasakan
pemiliknya. Mata yang bisa dipercaya.
“Lensa kontak, bukan? Aku tahu lensa kontak berwarna
sangat digandrungi anak-anak muda di Jepang,” tambah Tara agak bangga karena
merasa punya sedikit pengetahuan tentang tren anak muda di Jepang, entah itu
benar atau tidak.
Tatsuya tidak langsung menyadari bahwa Tara masih
membicarakan tentang warna matanya yang tidak biasa bagi orang Asia. Akhirnya
ia balas bertanya, “Kau sendiri memakai lensa kontak?”
Tara teringat warna matanya sendiri. “Enak saja,”
protesnya. “Ini warna asli mataku.”
“Ah, benar,” kata Tatsuya sambil menengadah.
“Sebastien pernah bilang ayahmu orang Prancis.”
“Ya. Ibuku orang Indonesia. Selain warna mataku, aku
memang lebih mirip ibuku.”
“Oh, Indonesia?”
“Kenapa?”
“Aku punya kenalan yang bisa berbahasa Indonesia di
Tokyo.”
“Oh ya?”
Tatsuya tertawa kecil. “Dia tetanggaku. Apartemennya
tepat di sebelah apartemenku. Gadis manis yang pendiam, tapi bisa berubah
segalak singa kalau perlu. Kadang-kadang dia suka mengomel dalam bahasa
Indonesia.”
“Kau mengerti apa yang dikatakannya?”
Tatsuya mengangkat bahu. “Hanya beberapa kata. Aku
suka bertanya apa yang diomelkannya.”
Tara mengangguk-angguk. “Aku jadi ingin belajar
bahasa Jepang.”
“Kau ingin belajar bahasa Jepang?” Tatsuya
mengulangi ucapan Tara. “Kenapa?”
“Tidak kenapa-kenapa. Aku memang suka belajar bahasa
asing,” sahutnya sambil mengangkat bahu. “Kalau tidak salah, dalam bahasa
Jepang kau harus menambahkan kata san pada nama orang, bukan?”
Tatsunay mengangguk. “Kalau kau sudah mengenalnya
dengan baik, kau boleh memakai kata chan.”
“Tatsuya-san? Atau Fujisawa-san?” tanya Tara tidak
pasti.
“Dua-duanya boleh, Tara-chan.”
“Hei, kau tahu, aku suka caramu menyebut namaku,”
kata Tara dengan wajah berseri-seri. “Sebastien tidak pernah menyebut namaku
dengan benar.”
Tatsuya merasa senang. Ia punya satu kelebihan dibandingkan
Sebastien.
Nah, pikiran apa itu? Kenapa sekarang ia
membanding-bandingkan diri dengan Sebastien? Tatsuya menghapus pikiran itu dari
benaknya.
Tiba-tiba ponsel gadis itu berbunyi.
“AllĂ´?” kata Tara setelah menempelkan ponsel ke
telinga. Tatsuya bisa melihat perubahan ekspresinya. Matanya berkilat-kilat dan
senyumnya melebar.
Telepon dari Sebastien, pikir Tatsuya tanpa bisa
dicegah.
“Sebastien!” seru gadis itu gembira.
Tatsuya memalingkan wajah. Benar, bukan?
“Kau sudah sampai?... Belum?... Tentu saja, aku bisa
menjemputmu... Kau bawa oleh-oleh untukku?... Wah, kau memang baik sekali!...
Oke, sampai jumpa!”
Tara menutup ponselnya. Ia masih tersenyum sendiri.
“Sebastien pulang hari ini?” tanya Tatsuya
berbasa-basi.
Tara mengangguk. “Aku mau pergi menjemputnya,”
katanya, lalu ia teringat sesuatu. “Oh ya, maaf. Aku tidak bisa menemanimu ke
Arc de Triomphe malam ini.”
“Tidak apa-apa. Kita bisa pergi lain kali.”
Tara bangkit dan merapikan syalnya. “Mau kuantar
pulang?”
Tatsuya menggeleng. “Terima kasih, tapi tidak perlu.
Aku ingin ke tempat lain dulu. Kau pergi saja.”
“Baiklah,” kata gadis itu sambil tersenyum. “Aku
pergi dulu. Terima kasih karena sudah mentraktirku makan siang. Lain kali
giliranku.”
“Terima kasih karena sudah menemaniku hari ini.”
Tara melambaikan tangan. “Sampai jumpa.”
“Sampai ketemu lagi, Tara-chan.”
Tatsuya memandangi Tara yang berlari-lari kecil
menjauhinya dan menarik napas panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar