Minggu, 18 Mei 2014



Empat
GADIS itu kelihatan bosan.
Tatsuya melirik Tara yang sedang memandangi sebuah patung karya Rodin tanpa ekspresi. Mereka sudah berada di museum itu selama lebih dari dua jam dan walaupun jelas-jelas tidak tertarik pada seni patung, gadis itu cukup sabar menemaninya. Tidak mengeluh sedikit pun. Tatsuya memutuskan tidak memperpanjang penderitaan Tara dan mengajaknya makan siang di kafe yang ada di taman museum. Makanan yang disajikan sederhana saja, tapi suasananya menyenangkan.
“Bosan?” tanya Tatsuya sementara mereka menunggu pesanan diantarkan.
Tara tersenyum dan melipat kedua lengannya di meja. “Mm, sedikit,” jawabnya jujur, lalu mengangkat bahu. “Tapi aku sudah terbiasa. Sebastien sering mengajakku kalau ada pameran arsitektur, sedangkan aku buta soal arsitektur.”
Tatsuya tertawa kecil. “Kalau begitu, setelah makan siang, kita ke tempat lain yang lebih menarik. Bagaimana? Ada saran?”
“Bagaimana kalau ke Jardin du Luxembourg?” tanya Tara, lalu berpikir lagi. “Atau kau mau belanja? Kita bisa ke Boulevard Saint-Germain atau rue de Grenelle. Tidak, laki-laki tidak suka berbelanja.... Ah, benar! Aku harus menunjukkan tempat kesukaanku! Sudah pernah melihat kota Paris dari ketinggian?”
Tatsuya menggeleng. Ia baru menyadari ia senang mendengar celotehan gadis itu. Ia suka mendengarkan suara Tara. Seolah memahami perasaan Tatsuya, Tara terus berceloteh panjang-lebar.
“Sebastien dan aku suka sekali melihat pemandangan kota Paris dari puncak Arc de Triomphe,” katanya dengan mata berbinar-binar. “Benar-benar menakjubkan! Banyak orang lebih suka melihat kota Paris dari puncak Eiffel, tapi menurutku pemandangan dari puncak Arc de Triomphe adalah yang terbaik. Bisa membuatmu sulit bernapas.
“Aku paling suka berada di tempat yang tinggi, karena aku akan merasa... mm, bagaimana mengatakannya, ya? Rasanya begitu jauh dari peradaban. Kau mengerti maksudku? Rasanya seperti meninggalkan beban di tanah dan kita melayang bebas. Aku dan Sebastien suka ke sana kalau sedang stres. Aku jamin, setengah jam di sana perasaanmu langsung jauh lebih baik.”
“Kita akan ke sana malam nanti karena pemandangan malam kota Paris lebih indah.” Tara terdiam sejenak untuk menarik napas, lalu bertanya, “Kau sungguh-sungguh belum pernah melihat-lihat kota Paris?” Matanya yang besar menatap Tatsuya dengan pandangan bertanya.
“Begitulah.” Tatsuya berusaha menahan senyum. Gadis itu sanggup bercerita terus kalau memang diperlukan. Gadis yang menarik.
“Aneh... Sudah berapa kali kau datang ke Paris?” tanya Tara.
Tatsuya mendongak dan berpikir-pikir. “Wah, aku tidak ingat.”
Tara mengangkat bahu. “Aneh sekali kalau datang ke Paris dan tidak berkeliling. Kau selalu datang untuk urusan kerja?”
Tatsuya ragu sejenak. “Tidak juga,” jawabnya pelan.
“Lalu kau datang untuk apa? Tidak mungkin untuk berlibur karena kau bilang kau bahkan tidak berkeliling dan melihat-lihat kota.”
Tatsuya menunduk dan bergumam, “Mencari seseorang.”
“Apa?” tanya Tara dan mencondongkan tubuh ke depan karena tidak mendengar dengan jelas.
Tatsuya mengangkat wajah dan mengulangi, “Aku ke sini untuk mencari seseorang.”
“Siapa?”
Pertanyaan yang wajar, tapi Tatsuya tidak ingin menjawab. Ia masih belum yakin mau menceritakannya pada orang lain. Untung saja saat itu makanan pesanan mereka datang sehingga Tatsuya tidak perlu langsung menjawab.
“Kau mencari siapa?” tanya Tara sekali lagi setelah pelayan pergi.
Gadis itu benar-benar tidak mau melepaskannya. Jawaban apa yang bisa diberikan?
“Ceritanya panjang,” Tatsuya mengelak, tidak langsung menjawab pertanyaan Tara tadi. “Lain kali saja kuceritakan.”
Gadis itu tidak mendesaknya lagi. Tara memang suka berceloteh panjang lebar, tetapi ia tidak suka memaksa, meskipun sebenarnya dia penasaran.
Setelah selesai makan, Tara membawanya berkeliling kota, dengan penuh semangat menunjukkan tempat-tempat menarik, seperti pemandu wisata berpengalaman. Tatsuya menyadari Tara gadis yang ekspresif. Ia tidak hanya bercerita dengan kata-katanya, tapi juga dengan mata dan gerakan tubuhnya.
Mungkin karena cuaca hari ini cerah, mungkin karena angin juga tidak bertiup terlalu kencang, atau mungkin juga karena ia mendapat teman seperjalanan yang menyenangkan, Tatsuya merasa santai hari itu. Gembira dan santai. Sudah lama sekali ia tidak mengalami perasaan seperti ini. Kapan terakhir kalinya ia merasa gembira? Pasti sebelum ibunya meninggal dunia. Dan sudah pasti sebelum ia tahu rahasia itu.
Ia merasa lengannya disiku pelan. Ia menoleh dan melihat Tara sedang menatapnya dengan alis berkerut.
“Apa yang sedang kaupikirkan?” tanya gadis itu sambil tersenyum. Kerutan di dahinya menghilang.
“Tidak ada,” Tatsuya berbohong.
Tara mendengus pelan, masih tetap tersenyum. “Bohong,” gumamnya dengan nada riang. “Kau tahu, Sebastien juga sering begitu.”
“Sering bagaimana?”
Tara mendongak. Senyumnya masih menghiasi bibirnya. Sepertinya memikirkan Sebastien saja ia bisa tersenyum. “Aku selalu tahu kalau Sebastien sedang banyak pikiran,” kataya. Tatsuya mendengar nada bangga dalam suara gadis itu. “Alisnya akan berkerut dan dia lebih banyak diam. Kalau ditanya apa yang sedang dipikirkannya, dia hanya akan menjawab „tidak apa-apa‟ dengan nada berat.” Tara menoleh mamandangnya dan senyumnya melebar. “Sama seperti yang kaulakukan tadi.”
Tatsuya mengangkat alisnya dan ikut tersenyum. Gaids itu punya senyum yang menular.
“Taman yang indah,” komentar Tatsuya mengalihkan pembicaraan.
Mereka sedang berjalan-jalan di Jardin du Luxembourg. Tatsuya memandang berkeliling. Banyak juga orang-orang yang menikmati jalan-jalan sore di taman ini seperti mereka.
Tara menggumam dan mengangguk. “Aku dan Sebastien suka ke sini. Kadang-kadang kalau kami berdua punya waktu senggang, kami akan duduk-duduk dan mengobrol tanpa tujuan.”
Tatsuya memandang gadis itu dengan bimbang.
“Ah! Itu ada bangku kosong,” seru Tara tiba-tiba. “Ayo, kita duduk di sana.”
Tatsuya membiarkan dirinya ditarik ke arah bangku kosong tidak jauh dari sana. Tara menyandarkan tubuhnya, mendongak, memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam, dan mengembuskannya.
“Hari yang indah sekali,” katanya pada dirinya sendiri, lalu menyiku lengan Tatsuya pelan. “Lihat, daun-daun sudah mulai berwarna cokelat. Bagus sekali, bukan?”
Tatsuya memandang gadis itu sambil tersenyum samar.
“Kami—Sebastien dan aku, maksudku—suka sekali musim gugur,” desah Tara. Ia menoleh menatap Tatsuya. “Kau tahu bagian yang paling menyenangkan?”
Tatsuya menggeleng, masih tetap memandangi gadis itu.
“Aku paling suka merasakan angin musim gugur di wajahku. Membuat ujung hidung dan kedua pipiku terasa dingin,” kata Tara sambil tertawa. Ia menyentuh ujung hidung dan pipinya untuk menegaskan kata-katanya.
Tatsuya menimbang-nimbang sesaat, lalu berkata, “Ada yang ingin kutanyakan.”
Gadis yang duduk di sampingnya itu menoleh. “Apa itu?”
Tatsuya ragu sejenak, lalu memutuskan untuk bertanya. “Apakah kau dan Sebastien...?”
Tara mengangkat alisnya, menunggunya melanjutkan.
“Kau tahu maksudku,” Tatsuya meneruskan dengan enggan. “Apakah kau dan Sebastien... pacaran?”
Tara mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu tertawa terbahak-bahak. “Oh, astaga! Tidak,” jawabnya ketika tawanya mereda. “Tidak, kami tidak pacaran. Kenapa bertanya seperti itu?”
Tatsuya mengangkat bahu. “Kau selalu menyebut-nyebut namanya. Sebastien juga sering membicarakan dirimu.”
Tara menatapnya lurus-lurus. Matanya berbinar-binar. “Sebastien sering membicarakan aku?” tanyanya perlahan.
Tatsuya membalas tatapannya. Baiklah, seharusnya ia tadi tidak mengatakan hal itu. Sekarang ia merasa tidak ingin menjawab, tapi... “Ya.”
Tara tersenyum senang dan menunduk memandangi kakinya. Saat itu juga Tatsuya tahu. Gadis itu menyukai Sebastien.
“Kau menyukainya?”
Kenapa mulutnya bergerak sendiri? Tatsuya menyesali kata-kata yang terlontar dari mulutnya. Bagaimanapun itu bukan urusannya.
Tara berpikir sejenak. “Dia teman yang baik,” jawabnya diplomatis. Ia menoleh menatap Tatsuya dan tersenyum lagi. Tiba-tiba ia berkata, “Hei, aku baru sadar warna matau abu-abu. Sama seperti aku. Kau lihat? Mataku juga abu-abu.”
Tatsuya menatap mata kelabu gadis yang duduk di sampingnya itu dan tersenyum. Mata kelabu yang bersinar ramah, hangat, dan ekspresif. Mata yang dengan mudah mencerminkan apa yang sedang dirasakan pemiliknya. Mata yang bisa dipercaya.
“Lensa kontak, bukan? Aku tahu lensa kontak berwarna sangat digandrungi anak-anak muda di Jepang,” tambah Tara agak bangga karena merasa punya sedikit pengetahuan tentang tren anak muda di Jepang, entah itu benar atau tidak.
Tatsuya tidak langsung menyadari bahwa Tara masih membicarakan tentang warna matanya yang tidak biasa bagi orang Asia. Akhirnya ia balas bertanya, “Kau sendiri memakai lensa kontak?”
Tara teringat warna matanya sendiri. “Enak saja,” protesnya. “Ini warna asli mataku.”
“Ah, benar,” kata Tatsuya sambil menengadah. “Sebastien pernah bilang ayahmu orang Prancis.”
“Ya. Ibuku orang Indonesia. Selain warna mataku, aku memang lebih mirip ibuku.”
“Oh, Indonesia?”
“Kenapa?”
“Aku punya kenalan yang bisa berbahasa Indonesia di Tokyo.”
“Oh ya?”
Tatsuya tertawa kecil. “Dia tetanggaku. Apartemennya tepat di sebelah apartemenku. Gadis manis yang pendiam, tapi bisa berubah segalak singa kalau perlu. Kadang-kadang dia suka mengomel dalam bahasa Indonesia.”
“Kau mengerti apa yang dikatakannya?”
Tatsuya mengangkat bahu. “Hanya beberapa kata. Aku suka bertanya apa yang diomelkannya.”
Tara mengangguk-angguk. “Aku jadi ingin belajar bahasa Jepang.”
“Kau ingin belajar bahasa Jepang?” Tatsuya mengulangi ucapan Tara. “Kenapa?”
“Tidak kenapa-kenapa. Aku memang suka belajar bahasa asing,” sahutnya sambil mengangkat bahu. “Kalau tidak salah, dalam bahasa Jepang kau harus menambahkan kata san pada nama orang, bukan?”
Tatsunay mengangguk. “Kalau kau sudah mengenalnya dengan baik, kau boleh memakai kata chan.”
“Tatsuya-san? Atau Fujisawa-san?” tanya Tara tidak pasti.
“Dua-duanya boleh, Tara-chan.”
“Hei, kau tahu, aku suka caramu menyebut namaku,” kata Tara dengan wajah berseri-seri. “Sebastien tidak pernah menyebut namaku dengan benar.”
Tatsuya merasa senang. Ia punya satu kelebihan dibandingkan Sebastien.
Nah, pikiran apa itu? Kenapa sekarang ia membanding-bandingkan diri dengan Sebastien? Tatsuya menghapus pikiran itu dari benaknya.
Tiba-tiba ponsel gadis itu berbunyi.
“AllĂ´?” kata Tara setelah menempelkan ponsel ke telinga. Tatsuya bisa melihat perubahan ekspresinya. Matanya berkilat-kilat dan senyumnya melebar.
Telepon dari Sebastien, pikir Tatsuya tanpa bisa dicegah.
“Sebastien!” seru gadis itu gembira.
Tatsuya memalingkan wajah. Benar, bukan?
“Kau sudah sampai?... Belum?... Tentu saja, aku bisa menjemputmu... Kau bawa oleh-oleh untukku?... Wah, kau memang baik sekali!... Oke, sampai jumpa!”
Tara menutup ponselnya. Ia masih tersenyum sendiri.
“Sebastien pulang hari ini?” tanya Tatsuya berbasa-basi.
Tara mengangguk. “Aku mau pergi menjemputnya,” katanya, lalu ia teringat sesuatu. “Oh ya, maaf. Aku tidak bisa menemanimu ke Arc de Triomphe malam ini.”
“Tidak apa-apa. Kita bisa pergi lain kali.”
Tara bangkit dan merapikan syalnya. “Mau kuantar pulang?”
Tatsuya menggeleng. “Terima kasih, tapi tidak perlu. Aku ingin ke tempat lain dulu. Kau pergi saja.”
“Baiklah,” kata gadis itu sambil tersenyum. “Aku pergi dulu. Terima kasih karena sudah mentraktirku makan siang. Lain kali giliranku.”
“Terima kasih karena sudah menemaniku hari ini.”
Tara melambaikan tangan. “Sampai jumpa.”
“Sampai ketemu lagi, Tara-chan.”
Tatsuya memandangi Tara yang berlari-lari kecil menjauhinya dan menarik napas panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar