Lima
“PARA pendengar, Anda semua pasti masih ingat
Monsieur Fujitatsu yang menulis surat ke acara kita dua hari yang lalu, bukan?”
Tara baru akan mematikan radio kecil yang ada di
meja kerjanya dan pulang ketika mendengar kata-kata Élise.
Monsieur Fujitatsu?
Suara Élise terdengar lagi. “Waktu itu Monsieur
Fujitatsu bercerita tentang gadis yang dia temui di bandara. Hari ini kami
kembali mendapat surat dari Monsieur Fujitatsu. Mungkinkah mengenai kelanjutan
cerita itu? Akan saya bacakan suratnya.”
Tatsuya menulis surat ke Je me souviens... lagi?
Tara mengangkat alis. Rasa penasarannya langsung terbit. Ia duduk kembali dan
memperbesar volume radio.
“Aku bertemu dengan seorang gadis kemarin. Oh,
sepertinya ini cerita yang lain.”
Tara semakin tertarik dengan apa yang ditulis
Tatsuya kali ini. Sepertinya ia takkan pernah bisa berhenti merasa penasaran
dengan Tatsuya Fujisawa.
“Tara, ayo!” seru salah seorang rekan kerjanya yang
sudah berjalan ke pintu, mengikuti beberapa orang lainnya. “Katanya kau mau
ikut minum bersama.”
Tara cepat-cepat menempelkan jari telunjuk di bibir
dan melambai. “Kalian duluan saja. Aku akan menyusul,” katanya cepat, setengah
mengusir.
Setelah rekan-rekannya keluar dan menutup pintu,
Tara kembali memusatkan perhatian kepada radio kecilnya. Ia sudah ketinggalan
sepenggal kecil dari surat Tatsuya.
“...berterima kasih kepada gadis yang kutemui
kemarin. Dia sudah berbaik hati menemaniku ke museum, tapi aku malah membuatnya
bosan setengah mati.”
Alis Tara terangkat dan ia tidak bisa menahan diri
untuk tersenyum. Apakah Tatsuya sedang bercerita tentang dirinya?
“Walaupun dia tidak berkata apa-apa, tapi tanpa
sadar aku menghitung berapa kali dia menguap selama di museum. Sebelas kali
dalam dua jam.”
Benarkan ia menguap sebelas kali? Tara mengerutkan
kening dan berusaha mengingat-ingat. Sepertinya ia tidak menguap sesering itu.
Dan Tatsuya menghitung berapa kali ia menguap? Yang benar saja!
Sebenarnya saat itu Tara tidak benar-benar bosan. Ia
hanya mengantuk karena kemarin ia terpaksa bangun pukul 09.30. Dalam kamusnya,
matahari baru mulai terbit jam 10.00 di hari Minggu.
“Aku sudah mencatat dalam hati lain kali aku takkan
mengajaknya ke museum lagi. Jadi sekarang aku ingin menghadiahkan sebuah lagu
untuknya sebagai ucapan terima kasih karena sudah begitu sabar dan karena sudah
menjadi teman mengobrol yang menyenangkan. Bisakah Anda putarkan lagu yang bagus
untuknya?
“P.S. Sayang sekali aku tidak punya nomor
teleponnya. Karena itu aku hanya bertanya-tanya sendiri kapan aku akan bertemu
dengannya lagi. Hari ini? Besok?”
Tara mendengar Élise tertawa kecil. “Monsieur
Fujitatsu, kedengarannya itu seperti ajakan kencan. Demi Anda, kami berharap
gadis itu mendengarkan acara ini.”
Senyum Tara melebar. Tatsuya Fujisawa benar-benar
laki-laki yang lucu dan penuh kejutan.
*
* *
“Mau makan di mana?” tanya Sebastien.
Tara memindahkan ponsel dari telinga kiri ke telinga
kanan dengan kening berkerut. “Di mana ya?”
Kedengarannya Sebastien juga sedang berpikir di
ujung sana. “Mau makan pasta?” sarannya.
“Boleh saja. Sudah lama kita tidak makan pasta. Di
tempat biasa?”
“Ya.” Lalu suara Sebastien terdengar ragu. “Oh, ya.
Kau tidak keberatan aku ajak Tatsuya sekalian, kan?”
“Tentu saja tidak. Ajak saja,” sahut Tara langsung.
Ia ingin sekali bertemu Tatsuya lagi.
Suara Sebastien terdengar lega. “Bagus. Kita ketemu
di sana saja, ya?”
Tara mengiyakan, lalu menutup telepon dan merenung.
Sebastien kedengarannya ragu ketika menanyakan apakah ia boleh mengajak
Tatsuya. Tara berpikir itu mungkin karena Sebastien takut Tara tidak akan
setuju mengingat sikapnya yang tidak bersahabat saat pertemuan pertamanya
dengan Tatsuya. Tetapi Sebastien tidak tahu Tara sudah pernah bertemu dengan
Tatsuya setelah pertemuan pertama itu.
Tara memang belum memberitahu Sebastien tentang hal
itu. Bukannya tidak mau, tapi waktunya tidak tepat. Kemarin mereka berdua sibuk
dan tidak bisa bertemu, sementara dua hari yang lalu ketika ia pergi menjemput
Sebastien di bandara, Tara sempat kesal dengannya.
Sebenarnya ketika ia pergi menjemput Sebastien di
bandara, suasana hati Tara masih bagus sekali. Melihat sosok Sebastien yang
keluar dari pintu kedatangan di bandara saja hatinya langsung melonjak dan ia
segera melambai-lambai dengan gembira.
Suasana hati Tara mulai berubah ketika mereka sudah
berada dalam mobil dan ia bertanya tentang perjalanan Sebastien ke Nice.
“Bagaimana Nice?” tanyanya sementara mereka meninggalkan
bandara.
Sebastien tersenyum lebar. “Semuanya baik-baik
saja,” jawabnya puas. Ia menoleh ke arah Tara dan mengedipkan sebelah mata.
“Aku juga bertemu seorang gadis di sana.”
“Lagi-lagi,” Tara mendesah. Ia sudah bosan mendengar
kisah cinta kilat Sebastien.
“Tunggu dulu,” sela Sebastien. “Ini tidak seperti
sebelumnya.”
“Apa bedanya?”
“Gadis ini berbeda. Aku benar-benar suka padanya.”
Mobil sempat oleng begitu Tara mendengar kata-kata
Sebastien.
“Ya Tuhan! Hati-hati, Tara. Kau hampir menabrak
mobil di sebelahmu!” seru Sebastien memperingatkan.
“Berbeda? Berbeda bagaimana?” tanya Tara sambil
memaksakan tawa sumbang. “Bukankah semua gadis sama saja bagimu?”
“Aku serius,” sahut Sebastien. Dan suaranya memang
terdengar serius. “Juliette berbeda,” Ia mengulangi.
Juliette? Pemilik nama semacam itu pasti kurus
kering dengan rambut panjang dan lurus berwarna kuning jagung. Warna kuning
jagung mengingatkan Tara pada orang-orangan sawah.
Jangan-jangan si Juliette memang mirip orang-orangan
sawah. Tara tidak bisa menahan diri untuk berpikir yang tidak-tidak.
“Ih, alasan usang,” gumamnya jengkel. Kenapa mobil
di depan itu begitu lamban? Ia membunyikan klakson berkail-kali dengan
bernafsu.
“Sungguh,” Sebastien berusaha meyakinkannya.
Tara semakin tidak sabar dan akhirnya menyalip mobil
di depannya itu.
“Tara, apakah menurutmu aku sedang jatuh cinta?”
Sebastien melanjutkan. Ia sama sekali tidak sadar Tara berharap bisa meninju
mulutnya. “Kau tahu, ternyata dia juga tinggal di Paris. Dia pergi ke Nice
karena urusan kerja, sama seperti aku. Katanya dia akan kembali ke Paris dalam
beberapa hari ini. Akan kukenalkan padamu nanti.”
Tidak! Tara tidak ingin berkenalan dengan
gadis-gadis yang terlibat dengan Sebastien. Ia tidak pernah berniat berkenalan
dengan mereka dan selama ini Sebastien juga tidak pernah memperkenalkan mereka.
Kenapa sekarang harus berubah?
“Itu konyol,” gumam Tara kesal.
“Apanya?”
“Segala tetek-bengek tentang jatuh cinta itu.
Memangnya orang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama?”
“Aku tahu kau tidak percaya cinta pada pandangan
pertama, tapi aku percaya.”
Tara mendengus meremehkan.
“Tara, kenapa kau mengebut begitu? Pelan-pelan
saja.”
“Aku sedang buru-buru,” jawabnya ketus. “Kau kira
aku orang yang tidak punya kerjaan?”
“Jadi, apa yang terjadi selama aku di Nice?” tanya
Sebastien, berusaha mengalihkan pembicaraan. Gadis yang duduk di sampingnya itu
jelas-jelas sedang naik darah. “Akhir pekanmu menyenangkan?”
Tadinya Tara ingin bercerita tentang pertemuannya
dengan Tatsuya Fujisawa, tapi sekarang tidak jadi. Suasana hatinya telanjur
jelek dan ia tidak ingin mengobrol panjang-lebar.
“Tidak lebih baik daripada akhir pekanmu,” sahutnya
dengan nada ketus yang sama.
“Kok tiba-tiba marah?” tanya Sebastien dengan nada
bergurau.
“Aku tidak marah,” tukas tara, walaupun nada
suaranya jelas-jelas marah.
Sebastien mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
Ia tidak bisa bermain tebak-tebakan dan ia tidak mau disuruh meneba isi pikiran
wanita. Terlalu rumit dan ia tahu ia takkan berhasil menebak dengan benar.
“Baiklah. Walaupun aku tidak tahu apa kesalahanku, aku minta maaf,” katanya
tulus, berharap dengan begitu kekesalan Tara akan mereda.
“Kalau tidak tahu kesalahanmu, tidak perlu minta
maaf!”
Oke, ia salah langkah. Sebastien mengerutkan kening
dengan bingung. Ada apa dengan Tara hari ini?
“Hari ini kau aneh sekali, Tara Dupont. Kau sedang
ada masalah?”
Perhatian dalam suara Sebastien membuat amarah Tara
agak reda. Ia menggeleng.
“Kau tahu kau selalu bisa bercerita padaku kalau ada
masalah,” kata Sebastien lagi dengan bersungguh-sungguh. “Aku akan membantumu.”
Tara memaksakan seulas senyum. “Aku tidak apa-apa.
Hanya saja ada seseorang yang membuat darahku mendidih.”
“Katakan padaku siapa orang itu,” kata Sebastien
cepat. “Akan kuberi pelajaran siapa pun yang mengganggumu.”
Tara tertawa kecil. Inilah Sebastien Giraudeau yang
dikenal dan disukainya. Walaupun Tara gadis yang blak-blakan, pada dasarnya ia
tetap konservatif. Ia tidak suka terang-terangan terhadap laki-laki. Selama ini
ia sudah berusaha menunjukkan perasaannya, tapi kenapa laki-laki itu tidak
memahaminya? Apa lagi yan bisa ia lakukan?
*
* *
Sebastien sudah menunggunya ketika Tara sampai di
restoran Italia itu. Tara heran melihat Sebastien duduk sendirian.
“Di mana Tatsuya?” tanya Tara begitu ia berdiri di
depan Sebastien.
Sebastien mengangkat wajah dari menu yang sedang
dibacanya. Ia tersenyum lebar, lalu berdiri dari kursinya. Ia menunggu Tara
menarik kursi dan duduk, baru duduk kembali.
“Di mana Tatsuya?” tanya Tara sekali lagi. Ia
melihat ke sekeliling restoran, berharap menemukan sosok Tatsuya di sana.
Mungkin sedang ke toilet?
“Dia tidak bisa ikut,” sahut Sebastien sambil
membolak-balikkan menu yang dipegangnya.
“Oh?” Tara berhenti mencari dan memandang Sebastien.
Tatsuya tidak datang? Oh...
Sebastien melanjutkan, “Tadi aku sudah menelepon
untuk mengajaknya, tapi katanya dia ada urusan lain. Akhir-akhir ini kami semua
memang sibuk sekali karena proyek hotel itu, apalagi Tatsuya yang harus dengan
cepat mempelajari semuanya dari awal karena dia bergabung di tengah-tengah
proyek yang sedang berjalan. Hari ini aku bahkan belum sempat bertemu
dengannya. Aku juga tidak melihatnya sepanjang hari kemarin.”
Oke, Tara akui ia sedikit kecewa. Sebenarnya ia
ingin bertemu dan berbicara dengan Tatsuya. Banyak yang ingin ia tanyakan pada
laki-laki itu. Terlebih lagi tentang surat yang ditulisnya ke stasiun radio.
Begitu mengingat surat itu, Tara tidak bisa menahan senyum. Tatsuya Fujisawa
benar-benar membangkitkan rasa ingin tahunya. Kapan laki-lak itu akan menulis
surat lagi?
“Kenapa senyam-senyum sendiri?”
Tara menatap Sebastien dan mengerjapkan mata. “Tidak
apa-apa,” sahutnya sambil tertawa kecil. “Hanya saja aku teringat...”
Kata-katanya dipotong dering ponsel Sebastien.
“Sebentar,” gumam Sebastien sambil merogoh saku celananya.
Ia menatap layar ponsel dan raut wajahnya menjadi cerah.
Tara mengerutkan kening. Ia mendapat firasat jelek.
Telepon itu pasti dari gadis yang ditemui Sebastien di Nice. Pasti... Pasti...
Sebastien buru-buru menempelkan ponsel ke telinga.
“Juliette? Kau sudah kembali ke Paris?”
Nah, benar, kan? Memang si orang-orangan sawah itu
yang menelepon.
Sebastien mendengarkan sebentar, lalu tertawa dan
berkata, “Tentu saja aku punya waktu sekarang.”
Tara melotot. Apa katanya?
Sebastien tidak memandangnya. Laki-laki itu
berkonsentrasi penuh dengan lawan bicaranya di telepon. “Oke, aku ke sana
sekarang. Sampai jumpa.”
Tara menahan napas. Jangan katakan....
Sebastien menutup ponsel dan memandang Tara.
Jangan berani-berani....
Tara balas menatap Sebastien. Ia tidak mau bertanya
karena ia takut mendengar jawaban Sebastien.
“Tara, maafkan aku,” kata Sebastien, tapi ia tidak
terlihat menyesal. Ia malah terlihat gembira, matanya berkilat-kilat dan
wajahnya berseri. “Kau ingat Juliette? Gadis yang pernah kuceritakan padamu?”
Tidak! Tidak ingat! Tidak mau ingat!
Sebastien meneruskan, “Ternyata dia sudah kembali ke
Paris. Dia menelepon dan mengajakku makan siang.”
Tara harus berusaha keras menahan emosinya.
“Sekarang?” tanyanya jengkel. “Bukankah kita sekarang sedang makan?”
Temannya itu seperti sama sekali tidak mengerti
perasaannya. Sebastien malah tertawa dan berkata ringan, “Maaf, aku akan
mentraktirmu lain kali. Oke? Sekarang aku harus pergi.”
Tara nyaris tidak percaya melihat Sebastien bangkit
dari kursi, meraih jaket, lalu melambai ke arahnya dan keluar dari restoran.
Tara tidak bisa berkata apa-apa, tidak bisa melakukan apa-apa. Ia begitu
tercengang. Ia hanya bisa terdiam melihat Sebastien masuk ke mobilnya lalu
melaju pergi.
Apa artinya itu? Sebastien meninggalkannya. Sebelum
ini Sebastien tidak pernah meninggalkannya. Tidak pernah. Walaupun lelaki itu
punya banyak kekasih, tapi Tara selalu mendapat perhatian utamanya. Sebastien
sendiri yang berkata begitu. Tara ingat Sebastien pernah berkata kalau Tara
adalah gadis nomor satunya. Tentu saja Tara tahu Sebastien hanya menganggapnya
sebagai teman baik, mungkin juga sebagai adiknya, tapi tidak masalah. Tara
senang.
Tara menunduk menatap taplak meja yang putih. Ia
menarik napas panjang, lalu mengangkat tangan kananya dan ditempelkan di
dadanya. Sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar