Minggu, 18 Mei 2014



Lima
“PARA pendengar, Anda semua pasti masih ingat Monsieur Fujitatsu yang menulis surat ke acara kita dua hari yang lalu, bukan?”
Tara baru akan mematikan radio kecil yang ada di meja kerjanya dan pulang ketika mendengar kata-kata Élise.
Monsieur Fujitatsu?
Suara Élise terdengar lagi. “Waktu itu Monsieur Fujitatsu bercerita tentang gadis yang dia temui di bandara. Hari ini kami kembali mendapat surat dari Monsieur Fujitatsu. Mungkinkah mengenai kelanjutan cerita itu? Akan saya bacakan suratnya.”
Tatsuya menulis surat ke Je me souviens... lagi? Tara mengangkat alis. Rasa penasarannya langsung terbit. Ia duduk kembali dan memperbesar volume radio.
“Aku bertemu dengan seorang gadis kemarin. Oh, sepertinya ini cerita yang lain.”
Tara semakin tertarik dengan apa yang ditulis Tatsuya kali ini. Sepertinya ia takkan pernah bisa berhenti merasa penasaran dengan Tatsuya Fujisawa.
“Tara, ayo!” seru salah seorang rekan kerjanya yang sudah berjalan ke pintu, mengikuti beberapa orang lainnya. “Katanya kau mau ikut minum bersama.”
Tara cepat-cepat menempelkan jari telunjuk di bibir dan melambai. “Kalian duluan saja. Aku akan menyusul,” katanya cepat, setengah mengusir.
Setelah rekan-rekannya keluar dan menutup pintu, Tara kembali memusatkan perhatian kepada radio kecilnya. Ia sudah ketinggalan sepenggal kecil dari surat Tatsuya.
“...berterima kasih kepada gadis yang kutemui kemarin. Dia sudah berbaik hati menemaniku ke museum, tapi aku malah membuatnya bosan setengah mati.”
Alis Tara terangkat dan ia tidak bisa menahan diri untuk tersenyum. Apakah Tatsuya sedang bercerita tentang dirinya?
“Walaupun dia tidak berkata apa-apa, tapi tanpa sadar aku menghitung berapa kali dia menguap selama di museum. Sebelas kali dalam dua jam.”
Benarkan ia menguap sebelas kali? Tara mengerutkan kening dan berusaha mengingat-ingat. Sepertinya ia tidak menguap sesering itu. Dan Tatsuya menghitung berapa kali ia menguap? Yang benar saja!
Sebenarnya saat itu Tara tidak benar-benar bosan. Ia hanya mengantuk karena kemarin ia terpaksa bangun pukul 09.30. Dalam kamusnya, matahari baru mulai terbit jam 10.00 di hari Minggu.
“Aku sudah mencatat dalam hati lain kali aku takkan mengajaknya ke museum lagi. Jadi sekarang aku ingin menghadiahkan sebuah lagu untuknya sebagai ucapan terima kasih karena sudah begitu sabar dan karena sudah menjadi teman mengobrol yang menyenangkan. Bisakah Anda putarkan lagu yang bagus untuknya?
“P.S. Sayang sekali aku tidak punya nomor teleponnya. Karena itu aku hanya bertanya-tanya sendiri kapan aku akan bertemu dengannya lagi. Hari ini? Besok?”
Tara mendengar Élise tertawa kecil. “Monsieur Fujitatsu, kedengarannya itu seperti ajakan kencan. Demi Anda, kami berharap gadis itu mendengarkan acara ini.”
Senyum Tara melebar. Tatsuya Fujisawa benar-benar laki-laki yang lucu dan penuh kejutan.
* * *
“Mau makan di mana?” tanya Sebastien.
Tara memindahkan ponsel dari telinga kiri ke telinga kanan dengan kening berkerut. “Di mana ya?”
Kedengarannya Sebastien juga sedang berpikir di ujung sana. “Mau makan pasta?” sarannya.
“Boleh saja. Sudah lama kita tidak makan pasta. Di tempat biasa?”
“Ya.” Lalu suara Sebastien terdengar ragu. “Oh, ya. Kau tidak keberatan aku ajak Tatsuya sekalian, kan?”
“Tentu saja tidak. Ajak saja,” sahut Tara langsung. Ia ingin sekali bertemu Tatsuya lagi.
Suara Sebastien terdengar lega. “Bagus. Kita ketemu di sana saja, ya?”
Tara mengiyakan, lalu menutup telepon dan merenung. Sebastien kedengarannya ragu ketika menanyakan apakah ia boleh mengajak Tatsuya. Tara berpikir itu mungkin karena Sebastien takut Tara tidak akan setuju mengingat sikapnya yang tidak bersahabat saat pertemuan pertamanya dengan Tatsuya. Tetapi Sebastien tidak tahu Tara sudah pernah bertemu dengan Tatsuya setelah pertemuan pertama itu.
Tara memang belum memberitahu Sebastien tentang hal itu. Bukannya tidak mau, tapi waktunya tidak tepat. Kemarin mereka berdua sibuk dan tidak bisa bertemu, sementara dua hari yang lalu ketika ia pergi menjemput Sebastien di bandara, Tara sempat kesal dengannya.
Sebenarnya ketika ia pergi menjemput Sebastien di bandara, suasana hati Tara masih bagus sekali. Melihat sosok Sebastien yang keluar dari pintu kedatangan di bandara saja hatinya langsung melonjak dan ia segera melambai-lambai dengan gembira.
Suasana hati Tara mulai berubah ketika mereka sudah berada dalam mobil dan ia bertanya tentang perjalanan Sebastien ke Nice.
“Bagaimana Nice?” tanyanya sementara mereka meninggalkan bandara.
Sebastien tersenyum lebar. “Semuanya baik-baik saja,” jawabnya puas. Ia menoleh ke arah Tara dan mengedipkan sebelah mata. “Aku juga bertemu seorang gadis di sana.”
“Lagi-lagi,” Tara mendesah. Ia sudah bosan mendengar kisah cinta kilat Sebastien.
“Tunggu dulu,” sela Sebastien. “Ini tidak seperti sebelumnya.”
“Apa bedanya?”
“Gadis ini berbeda. Aku benar-benar suka padanya.”
Mobil sempat oleng begitu Tara mendengar kata-kata Sebastien.
“Ya Tuhan! Hati-hati, Tara. Kau hampir menabrak mobil di sebelahmu!” seru Sebastien memperingatkan.
“Berbeda? Berbeda bagaimana?” tanya Tara sambil memaksakan tawa sumbang. “Bukankah semua gadis sama saja bagimu?”
“Aku serius,” sahut Sebastien. Dan suaranya memang terdengar serius. “Juliette berbeda,” Ia mengulangi.
Juliette? Pemilik nama semacam itu pasti kurus kering dengan rambut panjang dan lurus berwarna kuning jagung. Warna kuning jagung mengingatkan Tara pada orang-orangan sawah.
Jangan-jangan si Juliette memang mirip orang-orangan sawah. Tara tidak bisa menahan diri untuk berpikir yang tidak-tidak.
“Ih, alasan usang,” gumamnya jengkel. Kenapa mobil di depan itu begitu lamban? Ia membunyikan klakson berkail-kali dengan bernafsu.
“Sungguh,” Sebastien berusaha meyakinkannya.
Tara semakin tidak sabar dan akhirnya menyalip mobil di depannya itu.
“Tara, apakah menurutmu aku sedang jatuh cinta?” Sebastien melanjutkan. Ia sama sekali tidak sadar Tara berharap bisa meninju mulutnya. “Kau tahu, ternyata dia juga tinggal di Paris. Dia pergi ke Nice karena urusan kerja, sama seperti aku. Katanya dia akan kembali ke Paris dalam beberapa hari ini. Akan kukenalkan padamu nanti.”
Tidak! Tara tidak ingin berkenalan dengan gadis-gadis yang terlibat dengan Sebastien. Ia tidak pernah berniat berkenalan dengan mereka dan selama ini Sebastien juga tidak pernah memperkenalkan mereka. Kenapa sekarang harus berubah?
“Itu konyol,” gumam Tara kesal.
“Apanya?”
“Segala tetek-bengek tentang jatuh cinta itu. Memangnya orang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama?”
“Aku tahu kau tidak percaya cinta pada pandangan pertama, tapi aku percaya.”
Tara mendengus meremehkan.
“Tara, kenapa kau mengebut begitu? Pelan-pelan saja.”
“Aku sedang buru-buru,” jawabnya ketus. “Kau kira aku orang yang tidak punya kerjaan?”
“Jadi, apa yang terjadi selama aku di Nice?” tanya Sebastien, berusaha mengalihkan pembicaraan. Gadis yang duduk di sampingnya itu jelas-jelas sedang naik darah. “Akhir pekanmu menyenangkan?”
Tadinya Tara ingin bercerita tentang pertemuannya dengan Tatsuya Fujisawa, tapi sekarang tidak jadi. Suasana hatinya telanjur jelek dan ia tidak ingin mengobrol panjang-lebar.
“Tidak lebih baik daripada akhir pekanmu,” sahutnya dengan nada ketus yang sama.
“Kok tiba-tiba marah?” tanya Sebastien dengan nada bergurau.
“Aku tidak marah,” tukas tara, walaupun nada suaranya jelas-jelas marah.
Sebastien mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Ia tidak bisa bermain tebak-tebakan dan ia tidak mau disuruh meneba isi pikiran wanita. Terlalu rumit dan ia tahu ia takkan berhasil menebak dengan benar. “Baiklah. Walaupun aku tidak tahu apa kesalahanku, aku minta maaf,” katanya tulus, berharap dengan begitu kekesalan Tara akan mereda.
“Kalau tidak tahu kesalahanmu, tidak perlu minta maaf!”
Oke, ia salah langkah. Sebastien mengerutkan kening dengan bingung. Ada apa dengan Tara hari ini?
“Hari ini kau aneh sekali, Tara Dupont. Kau sedang ada masalah?”
Perhatian dalam suara Sebastien membuat amarah Tara agak reda. Ia menggeleng.
“Kau tahu kau selalu bisa bercerita padaku kalau ada masalah,” kata Sebastien lagi dengan bersungguh-sungguh. “Aku akan membantumu.”
Tara memaksakan seulas senyum. “Aku tidak apa-apa. Hanya saja ada seseorang yang membuat darahku mendidih.”
“Katakan padaku siapa orang itu,” kata Sebastien cepat. “Akan kuberi pelajaran siapa pun yang mengganggumu.”
Tara tertawa kecil. Inilah Sebastien Giraudeau yang dikenal dan disukainya. Walaupun Tara gadis yang blak-blakan, pada dasarnya ia tetap konservatif. Ia tidak suka terang-terangan terhadap laki-laki. Selama ini ia sudah berusaha menunjukkan perasaannya, tapi kenapa laki-laki itu tidak memahaminya? Apa lagi yan bisa ia lakukan?
* * *
Sebastien sudah menunggunya ketika Tara sampai di restoran Italia itu. Tara heran melihat Sebastien duduk sendirian.
“Di mana Tatsuya?” tanya Tara begitu ia berdiri di depan Sebastien.
Sebastien mengangkat wajah dari menu yang sedang dibacanya. Ia tersenyum lebar, lalu berdiri dari kursinya. Ia menunggu Tara menarik kursi dan duduk, baru duduk kembali.
“Di mana Tatsuya?” tanya Tara sekali lagi. Ia melihat ke sekeliling restoran, berharap menemukan sosok Tatsuya di sana. Mungkin sedang ke toilet?
“Dia tidak bisa ikut,” sahut Sebastien sambil membolak-balikkan menu yang dipegangnya.
“Oh?” Tara berhenti mencari dan memandang Sebastien. Tatsuya tidak datang? Oh...
Sebastien melanjutkan, “Tadi aku sudah menelepon untuk mengajaknya, tapi katanya dia ada urusan lain. Akhir-akhir ini kami semua memang sibuk sekali karena proyek hotel itu, apalagi Tatsuya yang harus dengan cepat mempelajari semuanya dari awal karena dia bergabung di tengah-tengah proyek yang sedang berjalan. Hari ini aku bahkan belum sempat bertemu dengannya. Aku juga tidak melihatnya sepanjang hari kemarin.”
Oke, Tara akui ia sedikit kecewa. Sebenarnya ia ingin bertemu dan berbicara dengan Tatsuya. Banyak yang ingin ia tanyakan pada laki-laki itu. Terlebih lagi tentang surat yang ditulisnya ke stasiun radio. Begitu mengingat surat itu, Tara tidak bisa menahan senyum. Tatsuya Fujisawa benar-benar membangkitkan rasa ingin tahunya. Kapan laki-lak itu akan menulis surat lagi?
“Kenapa senyam-senyum sendiri?”
Tara menatap Sebastien dan mengerjapkan mata. “Tidak apa-apa,” sahutnya sambil tertawa kecil. “Hanya saja aku teringat...”
Kata-katanya dipotong dering ponsel Sebastien.
“Sebentar,” gumam Sebastien sambil merogoh saku celananya. Ia menatap layar ponsel dan raut wajahnya menjadi cerah.
Tara mengerutkan kening. Ia mendapat firasat jelek. Telepon itu pasti dari gadis yang ditemui Sebastien di Nice. Pasti... Pasti...
Sebastien buru-buru menempelkan ponsel ke telinga. “Juliette? Kau sudah kembali ke Paris?”
Nah, benar, kan? Memang si orang-orangan sawah itu yang menelepon.
Sebastien mendengarkan sebentar, lalu tertawa dan berkata, “Tentu saja aku punya waktu sekarang.”
Tara melotot. Apa katanya?
Sebastien tidak memandangnya. Laki-laki itu berkonsentrasi penuh dengan lawan bicaranya di telepon. “Oke, aku ke sana sekarang. Sampai jumpa.”
Tara menahan napas. Jangan katakan....
Sebastien menutup ponsel dan memandang Tara.
Jangan berani-berani....
Tara balas menatap Sebastien. Ia tidak mau bertanya karena ia takut mendengar jawaban Sebastien.
“Tara, maafkan aku,” kata Sebastien, tapi ia tidak terlihat menyesal. Ia malah terlihat gembira, matanya berkilat-kilat dan wajahnya berseri. “Kau ingat Juliette? Gadis yang pernah kuceritakan padamu?”
Tidak! Tidak ingat! Tidak mau ingat!
Sebastien meneruskan, “Ternyata dia sudah kembali ke Paris. Dia menelepon dan mengajakku makan siang.”
Tara harus berusaha keras menahan emosinya. “Sekarang?” tanyanya jengkel. “Bukankah kita sekarang sedang makan?”
Temannya itu seperti sama sekali tidak mengerti perasaannya. Sebastien malah tertawa dan berkata ringan, “Maaf, aku akan mentraktirmu lain kali. Oke? Sekarang aku harus pergi.”
Tara nyaris tidak percaya melihat Sebastien bangkit dari kursi, meraih jaket, lalu melambai ke arahnya dan keluar dari restoran. Tara tidak bisa berkata apa-apa, tidak bisa melakukan apa-apa. Ia begitu tercengang. Ia hanya bisa terdiam melihat Sebastien masuk ke mobilnya lalu melaju pergi.
Apa artinya itu? Sebastien meninggalkannya. Sebelum ini Sebastien tidak pernah meninggalkannya. Tidak pernah. Walaupun lelaki itu punya banyak kekasih, tapi Tara selalu mendapat perhatian utamanya. Sebastien sendiri yang berkata begitu. Tara ingat Sebastien pernah berkata kalau Tara adalah gadis nomor satunya. Tentu saja Tara tahu Sebastien hanya menganggapnya sebagai teman baik, mungkin juga sebagai adiknya, tapi tidak masalah. Tara senang.
Tara menunduk menatap taplak meja yang putih. Ia menarik napas panjang, lalu mengangkat tangan kananya dan ditempelkan di dadanya. Sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar