Enam
HARI itu sungguh menyebalkan. Perasaan Tara tidak
membaik sepanjang sisa hari itu. Ditambah lagi ia terpaksa harus menerima
omelan dari Charles Gilou, atasannya yang sudah berusia lebih dari setengah
abad dan superkeras, karena penampilannya dinilai buruk saat siaran. Charles
bukan orang yang suka bertanya-tanya tentang masalah pribadi bawahannya dan ia
juga tidak peduli. Yang penting baginya adalah seorang penyiar harus selalu
terdengar ceria, profesional, dan tanpa beban begitu masuk ke ruang siaran.
Tara keluar dari ruangan Charles sambil menggerutu
dalam hati. Sebastien brengsek! Laki-laki itu yang membuat perasaannya kacau
seperti ini. Hari ini benar-benar tidak menyenangkan. Ia ingin cepat-cepat
pulang saja. Ia bahkan tidak ingin makan malam. Ia mau langsung pulang dan
tidur.
“Bagaimana? Charles mengamuk?” tanya Élise simpatik
begitu Tara masuk ke ruang kerja.
Tara mengembuskan napas panjang dan berat. Ia
memandang Élise, lalu mengangguk lesu. “Hari ini menyebalkan sekali,” gumamnya,
lalu menjatuhkan diri ke kursi.
Élise tersenyum menghibur. “Jangan terlalu
dipikirkan. Kau tahu sendiri Charles orang yang seperti apa. Tuan Sempurna yang
mengharapkan semua orang juga sempurna seperti dirinya.”
Tara hanya mendesah dan cemberut.
“Ngomong-ngomong, Sabtu nanti kau datang, kan?”
tanya Élise mengalihkan pembicaraan.
Tara mengerjapkan mata. “Sabtu? Datang ke mana?”
“Tentu saja ke pesta ulang tahunku. Kau ini
bagaimana sih? Sudah lupa?”
“Astaga! Itu kan masih lama,” protes Tara, lalu
melirik kalender mejanya. “Masih seminggu lagi.”
“Aku hanya ingin memastikan,” Élise membela diri.
“Datang, kan?”
Tara mengangkat bahu. “Tentu saja! Selama ada
makanan gratis, aku pasti datang.”
Élise mendengus dan tertawa. “Aku juga sudah mengundang
Sebastien. Dia bertanya padaku apakah dia boleh mengajak seorang temannya.”
Tara meringis. “Pasti si orang-orangan sawah itu,”
gumamnya murung.
“Siapa?”
“Pacar barunya.”
“Oh,” gumam Élise. Sepertinya ia memahami apa yang
dirasakan temannya. “Jadi kubilang pada Sebastien bahwa dia boleh membawa
temannya.”
Tara meringis lagi. “Sedang apa kau?” tanyanya
ketika melihat Élise asyik mengutak-atik laptop-nya. Ia tidak ingin
membicarakan Sebastien lagi. Suasana hatinya buruk gara-gara Sebastien.
“Oh, aku sedang membaca e-mail yang masuk,” sahut
Élise tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. “Tak kusangka banyak
sekali e-mail masuk yang menanyakan tentang Monsieur Fujitatsu.”
“Hm? Monsieur Fujitatsu?”
Élise mengangguk. “Tentu saja kebanyakan e-mail itu
dari wanita. Mereka merasa Monsieur Fujitatsu itu laki-laki yang sangat
romantis. Mereka berharap bisa mendengar kelanjutan kisahnya.”
Tara tersenyum sendiri mendengar kata-kata temannya.
“Sebenarnya aku sendiri juga penasaran kapan
Monsieur Fujitatsu kita ini akan menulis surat lagi kepada kita,” lanjut Élise.
“Aku merasa seperti sedang mendengar cerita bersambung. Membuatku gemas.”
“Jangan-jangan kau juga salah satu penggemarnya?”
goda Tara.
Élise hanya tertawa kecil dan melanjutkan
pekerjaannya.
Saat itu ponsel Tara berdering.
“Allô?”
“Allô, Tara-chan. Kuharap kau sedang tidak sibuk.”
Senyum Tara langsung mengembang dan semangatnya
bangkit begitu mendengar suara laki-laki itu. “Tatsuya!” serunya gembira.
“Bagaimana kau bisa tahu nomor teleponku?”
“Tadi aku menelepon ke stasiun radio dan katanya kau
sedang siaran, jadi aku sekalian meminta nomor ponselmu,” sahut Tatsuya di
ujung sana. “Aku ingin meminta maaf karena tidak bisa ikut makan siang
bersamamu dan Sebastien tadi.”
Tara mengangkat bahunya acuh tak acuh dan berkata,
“Tidak apa-apa. Tadi kami juga tidak jadi makan siang. Sebastien punya rencana
lain.”
“Kedengarannya kau sedang kesal.”
“Tidak, aku tidak kesal,” bantah Tara. Memangnya
kedengaran jelas bahwa ia sedang kesal?
“Ya sudah,” sahut Tatsuya. Ia pintar membaca situasi
dan tidak mau berdebat dengan Tara. “Sebenarnya aku ingin mengajak kalian makan
malam. Aku menelepon Sebastien, tapi katanya dia tidak bisa.”
“Jangan hiraukan dia,” kata Tara. Sebastien pasti
sedang bersama si orang-orangan sawah. “Aku bisa menemanimu makan malam. Di
mana?”
“Di tempatku,” jawab Tatsuya bangga. “Aku akan
memasak udon.”
Tara mengerjap-ngerjapkan mata. Ia berusaha berhenti
merasa heran dengan setiap jawaban Tatsuya yang tidak digua. “Kau bisa masak?”
tanyanya.
“Tentu saja. Kenapa tidak?”
“Bisa dimakan?”
Tara mendengar Tatsuya tertawa. “Semua temanku suka
makan masakanku,” sahutnya.
Tara ikut tertawa. “Baiklah, aku akan datang.
Berikan alamat rumahmu.”
*
* *
“Kau benar-benar pintar memasak.”
Tatsuya menoleh ke arah gadis yang duduk di
sampingnya. Tara balas menatapnya sambil tersenyum lebar. “Terima kasih,” kata
Tatsuya.
“Aku kenyang sekali,” keluh Tara senang. Ia
menepuk-nepuk perutnya dengan pelan dan puas.
Mereka berdua baru selesai makan dan sedang
duduk-duduk di sofa panjang dan memandang ke luar jendela. Tara yang memaksa
Tatsuya menggeser sofa ke depan jendela agar mereka bisa duduk dan makan sambil
memandangi Sungai Seine di bawah sana.
“Apartemenmu bagus,” kata Tara sambil bangkit dan
berjalan berkeliling ruangan.
Tatsuya mengangguk. “Disewa oleh perusahaan.”
“Ini foto siapa?”
Tatsuya menoleh dan melihat Tara sudah berdiri di
dekat televisi dan memerhatikan foto seorang wanita yang ada di atas televisi.
Kapan ia meletakkan foto itu di sana? Tatsuya tidak ingat. Ia bangkit dan
menghampiri gadis itu.
“Cantik,” gumam Tara sambil mengamati wanita
berambut hitam panjang sebahu di dalam foto.
Kerongkongan Tatsuya tercekat. Ia tersenyum lemah
dan berkata, “Tentu saja. Ini almarhumah ibuku.”
“Oh?” Tara mengangkat wajahnya dan menatap Tatsuya.
“Kalau boleh tahu, kapan...”
Dengan perlahan Tatsuya mengambil foto ibunya dari
tangan Tara dan mengamatinya dengan perasaan bercampur aduk. Dadanya mulai
terasa sesak. “Musim gugur tahun lalu,” sahutnya pelan. “Kanker.”
“Oh,” gumam gadis itu agak kaget. “Maafkan aku.”
“Tidak apa-apa,” kata Tatsuya sambil mengembalikan
foto itu ke atas televisi. Kemudian ia tersenyum. “Karena itulah aku tidak suka
musim gugur.”
Tara membalas senyumannya. Tatsuya merasa dadanya
lebih ringan sekarang. Perasaannya lebih baik. Kenapa senyum gadis itu bisa
membuatnya merasa seperti itu? Tiba-tiba saja ia ingin menceritakan isi hatinya
kepada Tara, berharap dengan begitu ia bisa lebih lega, berharap bebannya tidak
seberat sekarang.
“Kau ingat aku pernah bilang aku sedang mencari
seseorang?” tanyanya ketika mereka sudah duduk kembali di sofa dan memandang ke
luar jendela.
Tara menoleh ke arahnya, menunggunya melanjutkan.
Tatsuya menarik napas dan menatap Tara. “Aku sedang
mencari cinta pertama ibuku.”
Alis Tara terangkat, tapi ia tidak berkomentar
karena merasa Tatsuya masih ingin melanjutkan kata-katanya.
“Sebelum bertemu dengan ayahku, ibuku pernah jatuh
cinta dengan seorang pria Prancis.... Cinta pertamanya. Karena itu ibuku
memintaku mencarinya.”
“Kau tahu kenapa ibumu memintamu mencari cinta
pertamanya?” tanya Tara.
“Untuk menyerahkan surat yang ditulis ibuku
kepadanya,” sahut Tatsuya.
Alasan sebenarnya bukan hanya itu, tapi Tatsuya
merasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan. Nanti kalau semuanya
sudah beres, ia akan menceritakannya. Nanti...
“Lalu kenapa kau lesu begitu?” tanya Tara lagi.
“Apakah kau merasa ibumu mengkhianatimu dan ayahmu? Karena ibumu memintamu
mencari cinta pertamanya?”
Tatsuya terdiam sesaat, lalu menjawab, “Sedikit,
kurasa.”
Tara menepuk-nepuk pundaknya. Tatsuya menoleh dan
melihat gadis itu tersenyum. “Kau anak yang baik,” katanya menghibur.
“Sungguh.”
Tatsuya tertawa kecil.
“Jadi kau sudah menemukan orang itu?”
Tatsuya mengangguk.
Mata Tara melebar. “Benarkah?”
“Aku belum bertemu muka dengannya,” sahut Tatsuya
cepat. “Aku sudah punya nomor teleponnya, hanya saja aku belum berani
menghubunginya.”
“Kenapa?”
“Karena aku masih bingung dengan apa yang harus
kukatakan padanya. Bagaimana reaksinya begitu bertemu denganku? Apakah dia
masih ingat pada ibuku? Banyak yang harus kupersiapkan sebelum aku bertemu
dengannya nanti.”
“Tapi kau tentu tahu cepat atau lambat kau tetap
harus menghadapinya,” kata Tara mengingatkan.
“Ya, aku tahu,” sahut Tatsuya enggan, lalu memandang
gadis di sampingnya. “Dan aku akan memberitahumu bila aku sudah bertemu
dengannya.”
“Oke,” kata Tara dengan senyum lebar. Ia senang
Tatsuya memutuskan berbagi cerita dengannya. Itu artinya laki-laki itu percaya
padanya. Sambil mendesah, ia kembali memandang ke luar jendela. “Aah...
pemandangan Sungai Seine dari sini indah sekali.”
Tatsuya memerhatikan gadis yang sedang mengagumi
Sungai Seine dengan tatapan menerawang itu. Mengherankan sekali. Keberadaan
gadis itu membuatnya santai, seperti sekarang. Juga membuat perasaannya senang.
Gadis itu seperti obat penenang. Sejak ibunya meninggal Tatsuya selalu merasa
tersiksa bila harus datang ke Paris. Ia tidak pernah merasa tenang. Tapi
sekarang? Jangan tanya bagaimana, tapi gadis bernama Tara Dupont ini telah
membuat hari-harinya di Paris menjadi lebih mudah.
Lebih mudah, tapi tidak berarti sudah tidak
menyakitkan. Semakin lama di Paris, perasaannya semakin tidak menentu. Ia tahu
ia harus segera menyelesaikannya, tapi ia tidak tahu bagaimana memulainya. Ia
masih terus mengumpulkan keberanian. Ia juga tidak tahu sampai kapan ia baru
bisa mengumpulkan keberanian yang cukup untuk menemui orang itu. Orang yang
sudah lama dicarinya. Orang yang tanpa sengaja dilihatnya di jalan dua hari
yang lalu.
“Ngomong-ngomong, kau tahu, tidak, kau sekarang
punya banyak penggemar?” tanya Tara tiba-tiba.
Tatsuya menoleh. “Maksudmu?”
Tara menatapnya dan tertawa. “Para pendengar kami
sangat tertarik dengan e-mail yang kaukirimkan, termasuk temanku, Élise, yang
juga penyiar Je me souviens.... Cerita-ceritamu membuat mereka penasaran.”
“Oh ya?”
Tara mengangguk. “Monsieur Fujitatsu membuat acara
itu semakin populer. Inbox e-mail kami kebanjiran surat yang menanyakan tentang
si „laki-laki misterius yang romantis.‟”
Tatsuya tertawa kecil.
“Terutama mereka penasaran sekali dengan gadis di
bandara itu,” tambah Tara.
“Kau juga penasaran,” sela Tatsuya sambil tersenyum.
“Baiklah, aku juga,” aku Tara, lalu cepat-cepat
menambahkan, “Maukah kau terus menulis surat ke acara itu?”
“Kau mau aku bercerita tentang gadis yang kutemui di
bandara waktu itu?” tanya Tatsuya.
“Tentang apa saja.”
Tatsuya berpikir sebentar, lalu berkata, “Akan
kukabulkan keinginanmu kalau kau mau pergi jalan denganku kapan-kapan.”
Mata Tara membesar dan ia tersenyum. “Kau mengajakku
kencan?” Ia merasa gembira dengan rencana itu.
Tatsuya pura-pura berpikir keras, lalu
mengangguk-angguk. “Sepertinya begitu.”
Kemudian gadis itu tertawa. Saat itu Tatsuya baru
menyadari ia sangat suka melihat Tara Dupont tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar